Perjalanan,
rute, yang kita lalui akan menuju satu titik. Bukan jalan di tempat. Masa akhir
akan menghampiri. Itulah karakteristik dunia ini.
Datang dan
pergi. Muncul dan tenggelam. Pasang-surut. Terus bergerak dan berputar,
tanpa henti. Kadang di atas, kadang di bawah. Itulah pergiliran dan perguliran
waktu.
Sesungguhnya
pergeseran waktu, perputaran malam dan siang, tidak saja peristiwa alam
yang bersifat natural (thabii),tetapi merupakan tanda-tanda
kekuasaan Allah سبحانه وتعالى .
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ
اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran (3) : 190).
Demikian
pula kehidupan kita. Tak seorang pun di antara kita mengetahui sampai kapan
kesempatan hidup di dunia diberikan oleh Allah سبحانه
وتعالى secara cuma-cuma ini. Dan tiada satu pun jiwa yang mengetahui
apa gerangan yang akan dilakukan di esok hari. Dan di belahan bumi mana kelak
dia akan mengakhiri kehidupannya.
Manusia itu
tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang
akan diperolehnya, namun demikian mereka diwajibkan berusaha (ikhtiar) – memilih
faktor-faktor yang terbaik yang mendukung keberhasilan). Adalah suatu karunia
yang sangat besar, bahwa Allah سبحانه وتعالى
menjadikan ajal kita ini, sebagai suatu yang gaib/rahasia. Dengan
demikian, setiap manusia mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Allah سبحانه وتعالى setiap saat pagi, siang, dan malam.
Sehingga,
dalam situasi ketidakpastian, kita bisa beramal shalih lebih baik. Menjalani
hidup ini lurus. Tidak berhenti menanam dan mengukir amal shalih.Tanpa
menghiraukan persepsi pihak lain, baik pro maupun kontra. Jadi, setiap saat di
antara kita, tidak ada yang meyakini kapan hidup akan berakhir.
Jadi, ukuran kebaikan seseorang di sini, bukanlah awal
kehidupannya, atau pertengahannya, tetapi akhir kehidupannya. Jadi setiap
individu dan bangsa memiliki masa ajal. Kita hanya dibingkai oleh masa lalu,
kini dan esok hari.
Sebelum menekankan akhir dari kehidupan pertama
manusia, yaitu masalah ajal. Karena dengan menekankan masalah ajal, kita selalu
ingat terhadap titik akhir dan titik nadir kemana kita bergerak, meniti jejak,
dan berjalan.Apa yang paling menggoda dan membuat terlena, tergoda dan tertipu.
Salah satunya, karena ajal tidak diketahui. Akhir kehidupan tidak pernah
didefinisikan secara detail sebelumnya. Nikmat kesesaatan, nikmat kemudahan, seringkali
membuat orang tidak menyadari hidup kelak akan berakhir.
Al-Quran berkali-kali memberikan setressing tentang
masalah ajal. Memberikan titik tekan masalah kematian. Sesungguhnya yang di
inginkan oleh Al-Quran, juga Rasulullah Saw. ialah agar saat kita menyadari
titik terakhir ke mana kita menuju dan kembali. Atau menyadari visi dan misi
kehidupan.
Sesungguhnya keimanan bermula dari titik kesadaran
akan kesementaraan hidup. Karakteristik dunia yang fluktuatif dan pasang surut.
Bermula dari yang disebut Ibnu Qoyyim. Saat di mana jiwa kita terhenyak oleh
realitas kehidupan kedua setelah dunia.Maka bagian yang paling menggugah dan
menyentuh keimanan, kesadaran yang kuat tentang waktu.
Waktu
diberikan oleh Allah سبحانه وتعالى
dalam tiga lapisan :
1. Lapisan pertama, individu waktu yang diberikan setiap manusia yang
kita sebut dengan umur.
2. Lapisan kedua, umur masyarakat.
Setiap
hubungan masyarakat memiliki umur tertentu. Ada saat-saat kematiannya. Allah سبحانه وتعالى mengatakan :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا
جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap
umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang waktunya
mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula)
memajukannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 34).
Dengan kata
lain, tiap-tiap bangsa mempunyai batas waktu kejayaan atau keruntuhan.
Rasul
mengatakan :
اِنَّ لِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلْ وَاِنَّ
لِاُمَّتي مائة سَنَةً
“Manusia itu
memiliki usia tertentu. Dan usia (kurun) umatku hanya seratus tahun
(satu abad).”
Dalam al-Quran Allah berfirman, “Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS. Ali Imran : 110).
Ternyata, itu bukan sebuah pernyataan yang konstan,
yang tetap berlaku sepanjang masa. Umar bin Khaththab menyatakan tentang ayat
itu, maka penuhilah syarat-syarat Allah سبحانه وتعالى
tentang kriteria umat.
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus bagi umat ini di penghujung setiap seratus
tahun (seabad) seseorang yang mentajdid (memperbaharui) agama umat ini.”
(Hadits Riwayatkan Al-Imam Abu Dawud)
3. Lapisan ketiga, sejarah
Waktu yang
dimulai sejak Allah سبحانه وتعالى menciptakan Adam. Dan
akan berakhir ketika Allah سبحانه وتعالى
menghancurkan bumi dengan peristiwa kiamat :
“Semua yang
ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman (55) : 26-27)
Seperti itu waktu berlapis-lapis. Paling kecil dari
waktu ialah individu. Menjadi ruang lingkup pertanggung jawaban kita
masing-masing.
Kesadaran tentang waktu, ternyata banyak tidak
disadari oleh umat manusia. Bukan hanya oleh umat muslim, tetapi oleh seluruh
umat manusia. Masalahnya, apa yang bisa membuat kita mampu dari setiap detik
yang berlaku?
Setiap waktu yang kita lalui sama dengan gambaran
berikut ini. Ibarat sebuah pohon, maka pohon kehidupan kita setiap hari
daun-daunnya akan layu dan berguguran.
Itulah sebabnya Rasulullah menasihati kita:
“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang akan memutus kenikmatan dunia. Biasakanlah
untuk hidup tetap kasar. Hidup bersahaja. Kenikmatan itu selalu ada.”
Bahkan
beliau menyuruh kita untuk ziarah kubur, agar ingatan kita tentang
kesementaraan hidup di dunia dan kekekalan kehidupan hari esok (akhirat) lebih
kuat mempengaruhi cara kita berpikir, cara kita merasa, dan cara kita
berperilaku.*
Dikutipan di
Hidayatullah.com
by: Yandri Syafi'i