Muhammad Sebagai Pemimpin


Muhammad Sebagai Pemimpin


B.     Penghargaan dunia terhadap Muhammad Saw di bidang Hukum
Salah satu bentu penghargaan dan pengakuan dunia terhadap peranan beliau dalam hukum adalah terdapatnya image Muhammad Saw disalah satu ruang siding di Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika serikat sebagai salah satu tokoh hukum dunia sepanjang zaman.
      Meskipun hal ini merupakan kontroversi dan mengundang protes karena ajaran islam melarang untuk mengambarkan fisik nabi Muhammad Saw dalam bentuk gambar, lukisan, patung, relief, dan sebagainya, keberadaan beliau bersama tokoh-tokoh dunia lain menunjukkan prestasi beliau yang luar biasa dibidang hukum.
      Terlepas dari kontroversi tersebut, hal ini menunjukkan bahwa Muhammad Saw merupakan salah satu dari 18 orang Pembina hukum (law givers) utama dunia. Ke-18 orang tokoh hukum terdiri dari 9 orang yang berasal dari era sebelum masehi, dan 9 orang sesudah masehi mereka adalah:
Table tokoh hukum dinia sepanjang masa
Sebelim masehi
Sesudah masehi
Menes
Justinia
Hammurabi
Muhammad Saw
Moses
Charlemagne
Solomon
King john of England
Lycurgus
King louis IX of france
Solon
Hugo Grotius
Draco
Sir William blackstone
Confucius
Jonh marshall
Augustus
Napoleon

Penghargaan ini tidak terlepas dari jasa-jasa Muhammad Saw dalam membina hukum masyarakat yang kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Warisan sistem hukum dan dan aturan-aturan yang ditinggalkan beliau telah ikut mempengaruhui tatanan hukum dunia.
      Hukum Islam yang mulai diterapkan pada masa beliau masih hidup, kemudian menjadi system hukum yang diterapkan diberbagai wilayah yang berda dibawah kekuasaan kaum Muslim.Sistem hukum ini terus dipelajari dan dikembangkan. Parapelajar Eropa yang menuntut ilmu disentra-sentra pendidikan pada abad-abad kejayaan Islam di tengari ikut mempelajari hulum Islam. Besar kemungkinan sistem hukum yang mereka pelajari mempengaruhi sistem hukum Eropa pada abad pertengahan hingga sekarang.
      Kalau dilihat dari daftar tokoh hukum dunia diatas, tampak Muhammad adalah bukan satu-satunya peletak dasar hukum dunia. Beliau merupakan adalah salah satu rantai utama perkembangan hukum dunia. Dalam banyak hal, memang beliau membuat system dan aturan-aturan baru, namun beliau juga mempertahankan system dan aturan-aturan yang sudah ada jika dipandang sejalan dengan ajaran Islam. Paratokoh hukum sesudah beliau turur pula memberikan sumbangan sehingga tatanan hukum di berbagai negera menjadi semakin baik dalam rangka memenuhi tuntunan parapencari keadilan.
C.    Peran Rasulullah Saw Dalam Pembentukan Legal Jurisprudence
Periode Rasulullah Saw adalah periode yang peling penting dalam pembentukan legal jurisprudence (fiqh) karena hukum yang ditetakan pada periode ini merupakan sumber utama dalam pembentukan legal jurisprudence, yang ada dalam setiap kurun, baik di masa yang lalu, sekarang dan yang akan datang.
Legal jurisprudence pada fase awal disebut fiqh wahyu karena hukum-hukumnya diturunkan kepada Rasulullah Saw secara langsung baik secara lafaznya (al-qur’an) atau secara maknanya (al-hadits) dan kemudian Rasulullah Saw menyampaikan kepada umatnya. Jadi sumber legal jurisprudence pada periode ini adalah hanya wahyu. Adapun ijtihat yang dilakukan beliau termasuk bagian dari wahyu karena ijtihatnya selalu dalam bimbingan wahyu dan tidak ada yang disampaikan oleh Rasulullah Saw kecuali dalam bentuk wahyu, baik secara langsung atau pun tidak langsung sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
“Dantidaklah yang diucapakan itu (al-qur’an) menuntut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[1]
1.      “Karir hukum” Muhammad Saw
Sebagaimana diketahuai, masyarakat Arab jahiliyah hidup dengan bersuku-suku atau kebilah-kabilah. Mereka belum mempunya sistem pemerintahan yang baik sebagaimana daerah-daerah sekitar mereka semisal wilayah kekuasaan Romawi, Persia, dan Habsyi. Bangsa Arab mempunyai aturan-aturan tersendiri menurut suku atau kabilah masing-masing. Adat antara suku yang satu berbeda dengan suku yang lain.
Perbedaan aturan-aturan hukum adat ini menemukan persoalan ketika terjadinya persinggungan hukum antara anggota suku yang satu dengan anggota suku lain. Hal ini seringkali menimbulkan peperangan karena ada yang tidak terpuaskan dalam keadilan yang dirasakan oleh salah satu atau kedua suku tersebut. Untuk menyelesaikan masalah tersebut biasanya mereka mengangkat seseorang sebagai penengah. Kapada orang tersebut meminta fatwa hukum terhadap perkara yang terjadi diantara kedua anggota suku tersebut. Mereka sepakat taat kepada keputusan yang dibuat oleh penengah tersebut.
Nabi Muhammad Saw sendiri pernah diminta untuk menjadi penengah terhadap perkara yang timbul antara suku-suku Qurais. Hal ini terjadi sebelum beliau menjadi seorang utusan Allah ketika beliau memutuskan perkara siapa yang paling berhak meletakkan kembali batu hitam (hajar al-aswad) ketempatnya semula.
Perselisihan itu semakin keras sehingga hampir menimbulkan keributan. Kemudian, salah seorang mereka mengusulkan untuk menggangkat seorang penegah untuk memutuskan siapa yang berhak untuk melakukan tugas tersebut. Namun siapa orangnya, ia mengusulkan orang yang mereka minta fatwa adalah orang yang pertama sekali masuk komplek haram keesokan harinya.
Ternyata, orang yang muncul keesokan harinya adalah Muhammad Saw. Melihat yang akan diminta keputusan hukum adalah Muhammad Saw, suka hatilah mereka karena telah mengenal pribadi Muhammad Saw sebagai seorang baik dan jujur. Mereka punrela menaati keputusan yang akan dibuat oleh Muhammad Saw atas perkara tersebut.
Setelah mengetahuai perkara dan berfikir sejenak, Muhammad Saw meminta sehelai kain. Kain tersebut dibentangkan kemudiaan beliau meletakkan batu tersebut di atas kain itu. Kemudian beliau meminta masing-masing pemimpin Qurais untuk memengang tepi kain itu dan menggotong batu tersebut ketempat semula.
Kemudian beliau meletakkan batu itu ketempatnya. Dengan demikian selesailah persoalan tersebut. Masing-masing pemimpin merasa puas karena mereka telah turut melakukan tugas terhormat tersebut.
Demikianlah jelasnya karir hukum Muhammad saw telah dimulai sejak beliau belum diangkat menjadi Rasul. Setelah diangkat menjadi Rasul, karir ini meningkat dan semakin kompliks. Beliau bukan hanya bertindak sebagai penegah hakim, tetapi juga melakukan fungsi-fungsi seorang legislator, hakim, menteri kehakiman, jaksa, penyidik, dan fungsi-fungsi yang terkait denga hukum lainnya.
D.    Peran Rasulullah Saw Dalam Pembinaan Hukum
Dalam pembinaan hukum, setidaknya ada tiga hal yang dilakukan Rasulullah Saw yaitu pembunaan aturan-aturan hukum, pembinaan lembaga peradilan, penegak hukum dan pembinaan lembaga-lembaga terkait, dan pembinaan masyarakat hukum. Dengan demikian beliau melakukan fungsi sebagai legislator, hakim agung, menteri kehakiman, dan jaksa agung. Gambaran ringakas bagaimana beliau menjalankan fungsinya.

1.      Pembinaan Aturan Hukum (undang-undang)
Idealnya, dalam suatau masyarakat ada aturan-aturan atau Norma yang dipenuhi dan oleh semua angota masyarakat. Aturan-aturan dapat berupa norma-norma akhlak dan norma-norma hukum.
Aturan-aturan hukum yang dipakai saat itu adalah aturan-aturan hukum adat yang diwariskan secara turun-menurun. Sementara masyarakat yahudi yang mendiami jazirah Arab waktu itu memiliki acuan yang lebih jelas dengan mengunakan kitab taurat sebagai hukum.
Risalah Islam yang dibawa Muhammad Saw juga berisi aturan-aturan hukum. Namun risalah tersebut tidak turun dimasyarakat hampa hukum sama sekali. Oleh karena itu, terdapat bebarapa aturan hukum yang menjadi sumber begi para pencari keadilan pada masa Rasulullah Saw. Sumber-sumber hukum tersebut adalah wahyu, adat masyarakat Arab yang sudah diadaptasikan oleh Islam, hukum-hukum agama yahudi dan Kristen bagi pemeluknya, dan aturan-aturan hukum baru yang merupakan hasil kesepakatan berbagai kelompok masyarakat.
Aturan-aturan hukum yang berupa wahyu yang tertulis dia atas berbagai media seperti dipelepah kurma dan kulit binatang. Penulis ini atas perintah Rasulullah Saw kepada para penulis wahyu. Di samping itu, kemungkinan ada sahabat-sahabat lain juga yang menulis wahyu. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang bersumber dari wahyu (al-qur’an) ini ditulis seiring ditulis al-qur’an. Tentu saja tidak ditulis secara ekslusif berupa kumpulan ayat-ayat hukum, tetapi di tulis secara keseluruhan al-qur’an. Selain ditulis ayat-ayat hukum juga dihafal oleh para sahabat dan dijadikan rujukan ketika memutuskan persoalan hukum.
Sumber hukum lainnya adalah adat istiadat masyarakat Arab yang tidak bertentangan dengan syari’at yang dibawa Rasulullah Saw aturan-aturan adat ini lebih banyak norma-norma dalam pergaulan masyarakat. Sementara aturan-aturan yang tidak sesuai dengan ajaran dihapuskan baik sekaligus maupun bertahap. Aturan-aturan yang dihapus antara lain beberapa perkawinan jahiliyah, kebiasaan mengunding nasib dengan anak panah, adat membunuh anak perempuan dan sebagainya.
Sumber-sumber lain adalah kitab-kitab suci terdahulu. Aturan-aturan ini mengikat kepada para pemeluk agama terkait seperti yahudi dan nasrani. Dalam satu riwayat menyatakan bahwa Rasulullah menghukum warga yahudi berdasarkan aturan dalam kitab taurat.
Antara lain itu, aturan-aturan hukum di buat berdasarkan kesepakatan antara pihak-pihak yang mengikatkan diri dengan kesepakatan itu. Ketika ada pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian ini melangar kesepakatan, maka akn dihukum berdasarkan aturan yang disepakati tersebut.
2.      Pembinaan Lembaga Peradilan
Sebagaimana yang diketahui, Rasulullah juga berfungsi sebagai hakim yang memutuskan perkara mereka yang mencari keadilan pada waktu itu. Dalam sistem hukum modern, hakim dan lembaga peradilan merupakan bagian penting bersama dengan jaksa dan para kepolisian sebagai pelaksana penyelidik, penututan dan eksekusi keputusan hukum yang di buat oleh hakim. Peranan ini sebagian sudah ada pada zaman Rasulullah Saw dalam bentuk sederhana.
      Dalam pembinaan lembaga peradilan, ada beberapa hal yang dilakukan oleh Muhammad Saw seperti pengangkatan hakim dan pembinaan hukum acara peradilan. Pembinaan hakim dilakuakan dengan cara mengangkat beberapa sahabat qadhi dibeberapa daerah, mirip seperti hakim Negara pada masa sekarang dengan Rasulullah Saw sebagai hakim agungnya.
      Sebelum mengangkat dan mengirim hakim atau qadhi kesuatu daerah, Rasulullah Saw terlebih dahulu melakukan semacam fit and proper test seperti terungkap dalam suatu dialog yang sangat terkenal antara Rasullah Saw dengan mu’adz bin Jabal sebelum diutus sebagai qadhi.
3.      Penegakan Hukum
Rasulullah Saw juga melakukan pembinaan dalam penegakan okum. Beliau mengakatakn bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama dihadapan okum (equality before the law). Tidak ada orang bersalah yang terbebas dari okum sekalipun Ia mempunyai kedudukan yang terhormat ditengah masyarakat.
Dalam memutuskan perkara beliau menganjurkan agar para hakim mengetahui dan memahami benar adanya perkaranya. Oleh karna itu dibutuhkan penyelidikan agar orang yang berperkara tidak terzalimi atau diuntungkan oleh keputusan hakim.
4.      Pembinaan Masyarakat Hukum
Peranan Nabi Muhammad Saw dalam pembinaan hukum tidak saja terkait dengan lembaga peradilan saja tetapi juga melakukan pembinaan terhadap masyarakat hukum. Penegakan hukum hanya salah satu pilar dari budaya hukum dibangun dalam suatu masyarakat taat hukum. Betapapun, pembinaan kesadaran masyarakat terhadap hukum jauh lebih penting dari pada penegakan hukum itu sendiri. Ketika masyarakat sudah taat terhadap hukum maka penegakan hukum akan tidak perlu. Dengan demikian, biaya-biaya atas penegakan hukum itu sendiri dapat ditekan. Disamping itu masyarakat dapat berkonsentrasi untuk meningkatkan kehidupan mereka tanpa mengganggu atau diganggu oleh orang lain.
Ayat-ayat makkiay yang lebih banyak terkait dengan persoalan aqidah dan akhlak sepertinya mengisaratkan adanya persiapan terhadap suatu masyarakat ideal yang akan dibangun yaitu masyarakat yang taat kepada hukum. Persiapan Ke arah itu untuk mengkondisikan masyarakat mempunyai pemahaman dan kesadaran akan ketuhanan dan masyarakatan yang tinggi. Dengan adanya kesadaran ilahiyah dan ijitimah’iyahini anggota masyarakat akan mematuhi aturan-aturan yang terkait dengan ibadah dan muamalah secara sukarela tampa paksaan.
Inilah kurang lebih yang dimaksud Nabi Muhammad Saw ketika beliau bersabdah dalam hadis yang terkenal bahwa jika tuhan mengendaki kebaikan untuk seseorang maka dibuatlah dia menjadi faqih (orang yang paham) dalam agamanya. Demikian pula sebuah firman ilahi yang tidak jauh maknanya dari hadis itu,yang menegaskan hendaknya dalam setiap masyarakat harus ada kelompok orang melakukan tafaquh (usaha memahami secara mendalam) tentang agamanya. Diharapkan agar para sepesialis ini dapat menjalankan pesan sebagai sumber kebutuhan moral (moral force) masyarakat. Mereka inilah yang dalam sosiologi dikenal sebagai masyarakat sipil (civil society).                   
      Dengan demikian.masyarakat yang dibentuk oleh rasulullah Saw adalah masyarakt yang tidak sekedar menjadi masyarakat hukum (legal society) biasa,
Namun masyarakat yang pada hakikatnya adalah suatu masyarakat akhlak (ethical society). Masyarakat akhlak inilah yang memiliki kesadaran terhadap norma dan peradapan yang tinggi disamping juga mematuhi norma-norma hukum.



E.     Karakteristik Hukum Islam
Sistem hukum Islam yang dibawa Rasulullah saw mempunyai beberapa karakter yang membuatnya berbeda dengan sistem hukum yang ada pada waktu kelahirannya hingga sekarang. Berikut di bawah ini dibahas beberapa karakteristik hukum islma.
1.      Rabbaniyyah
Hal yang paling membedakan hukum Islam dengan sistem hukum lainnya adalah bahwa hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari Allah atau bersifat rabbaniyyah. Hukum islma di buat oleh syari (pembuatan syariat) yaitu Allah swt sendiri. Hukum Allah itu diturunkan melalui wahyu.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa al-qur’an merupakan sebuah kitab hukum karena tidak semua kandungan al-qur’an berisi aturan-aturan hukum. Ayat-ayat hukum merupakan sebagian dari ayat-ayat al-qur’an. Kandunagan al-qur’an yang lainya berkaitan dengan masalah akidah, akhlak, dan sebagainya. Allah swt berfirman:
“dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi al-qur’an dari sisi (Allah)yang maha bijaksana lagi mengetahui.”
Di samping al-qur’an sebagai sumber hukum dari Allah, terdapat pula aturan-aturan hukum yang ‘dikeluarkan’ oleh Rasulullah Saw yang kemudian dikenal sebagai hadis. Hal ini karena semua perkataan dan ketetapan Rasulullah Saw merupakan wahyu juga namun tidak termasuk dalam al-qur’an. Artinya, ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan Rasulullah Saw mendapat pentunjuk wahyu atau dibenarkan oleh wahyu. Kalau ada ketentuan Rasulullah saw yang kurang tepat maka kemudian turun wahyu yang meluruskannya. Allah berfirman:
“Dan tidaklah yang diucapkan itu (al-qu’an) menurut kemaunanya hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain ialah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”[2]
Konsekuensi yang bisa dilihat dari hukum Allah itu adalah sebagai berikut:
1.      Hukum Islam itu semputna dan tidaj terhinggapi oleh kekurangan apapun, kebodohan, hawa nafsu dan kezaliman.
2.      Hukum Islam itu lebih berwibawa dan dihormati oleh semua orang-orang yang beriman karena merupakan ciptaan Allah.
3.      Syumul(comprehensive). Hukum Islam mencakup semua aspek baik politik, ekonomi, social, kenegaraan, manajemen dan lainnya. Oelh karena itu, orang yang mengaku Islam tidak boleh mengambil hukum Islam secara parsial tapi harus menyeluruh.
2.      Tadarruj (bertahan)
“Sesungghnya kami telah menurunkan al-qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-rangsur.”[3]
Muhammad saw melakukan pembinaan hukum masyarakat secara bertahap. Di masa awal risalah, masyarakat Arab masih menganit adat dan hukum Arab jahiliyah dengan kuat. Oleh karena itu, tidak bijak kalau dilakukan perubahan hukum dan budaya secara drastis. Ayat-ayat al-qur’an yang membawa pesan hukum diturunkan secara berangsur-rangsur. Hukum-hukumnya pun datang beriringan, sesudah sesuatu sebab yang menghentikan hukum itu atau sesudah berakarnya hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya. Kemudian baru datanglah hukum lain. Misalnya, hukum minum khamar (minuman keras) pada awalnya berupa celaan saja,[4] kemudian meningkat menjadi larangan mengerjakan shalat dalam keadaan dibawah pengaruh minuman keras.[5] Pada tahap akhir, khamar diharamkan bersama-sama dengan judi dan mengadu nasib.[6]
Shalat pada awalnya difarhdukan dua rakat diwaktu pagi hari dan dua rakaat diwaktu petang. Kemudian barulah difardhukan shalat lama kali sehari semalam.[7] Puasa pada awalnya diwajibkan tiga hari dalams setiap bulannya. Kemudian, baru difardhukan puasa Ramadhan.[8]
3.      Umum (general)
Hukum islam itu berlaku untuk semua manusia, baik arab maupun non arab, hal itu ditegaskan dalam firmannya:
      “Dan kami tidak mengutuskan kamu, melainkan kepada umat manusia sebelumnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.”
Kemumuman hukum-hukum islam bisa dilihat dari maslahat yang menjadi standar acuannya, apakah maslahat tersebut bersifat parsil atau pun umum, hal itu seperti yang titegaskan dalam al-qur’an:
“Dan tidaklah kamu memutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Keumuman syariat islam bisa dilihat daru indikator berikut ini:
1.      Bahwa syariat islam sangat memperhatikan maslahatan manusia dalam menetapkan hukum karena tidak ada hukum yang ditetapkan untuk manusia kecuali untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Untuk itu, para ulama menyimpulkan dalam kaidah fiqh bahwa: “Setiap hukum itu sangat tergantung pada maslahat yang terkandung didalamnya” dan kaidah hukum: “Menolak madharat itu lebih di utamakan daripada menarik manfaat.” Semua itu mempunyai arti yang sama bahwa syariat islma itu diciptakan semata-mata untuk kemaslahat untuk umat manusia.
2.      Adanya konsep “rukhsah dan azimah” (keringanan) yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi setiap hambanya. Kemampuan itulah yang menjadi standar pelaksanaan hukum bisa tercapai. Untuk itu ada khususnya bagi mereka yang belum terbiasa dan mampu dalam melaksanakan hukum islam, bisa menerapkan secara bertahap (tadarruj) tapi sifat tadarruj itu bersifat temporer dan bukan untuk selamanya.
4.      Ideal dan realitis
Hukum islam juga mempunyai karakteristik mudah, realitis dan ideal serta tidak membebani diluar kemampuan manusia. “Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampoi batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.
5.      Wasathiyah (moderate)
Kelebihan syariat islam lainya adalah memiliki karakter moderat atau seimbang, yaitu sikap seimbang dan proporsional dalam menyikapi semua masalah dan hal-hal yang saling bertentangan. Misalnya, seimbang dalam menyikapi konsep ketuhanan dan kemanusiaan, seimbang dalam menyikapi materialisme dan spritualisme, seimbang dalam keduniaan dan keakhirataan, seimbang dalam menempatkan akal dan wahyu, seimbang dalam menempatkan kepentingan pribadi dan umum, dan sebagainya.
“Dan Allah telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jagan melampai batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jagan lah kamu merugikan neraca itu.”
Indikator kemudaratan hukum islam bisa dilihat dari hukum ibadah yang ditetapkan. Islam tidak menuntut manusia untuk melakukan ibadah terus menerus dan meningalkan kewajiban dunia.
Hukum islam memilih posisi yang  moderat dalam artian tidak ekstrim kekanan atau kekiri. Hukum islam melarang terlalu mementingakan aspek ruhaniyah dan melupakan aspek lahiriyah. Demikian juga sebaliknya. Inilah yang dikenal sebagai teori wasatiyah menyelaraskan antara kenyataan atau fakta dengan indetitas atau cita-cita.
Hal ini tergambarkan dalam beberapa petunjuk al-qur’an dan sunnah sebagaimana berikutnya:
1.      Karena itu jaganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu suka) sehingga kamu biayarkan lang lain terbengkalai.
2.      Dan jalan lah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jaganlah kamu terlalu mengulurkannya agar kamu tidak tercela dan menyesal.
3.      “….dan orang-orang yang apabila menjalankan ciri khas muhammad saw, berlebihan dan tidak pula kikir, akan tetap berada diantara keduanya.
4.      Dari makanan yang bisa engkau berikan kepada mereka.
Konsep wasathiyah atau moderat in merupakan ciri khas muhammad saw, agama islam, dan pengikutnya. Hal ini sebagaimana firman Allah awt:
“dan demikian kami telah menjadikan kamu umat pertengahan (moderet) agar kamu menjadikan seksi terhadap manusia…
6.      Murunah (flexible)
Hukum islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum islam terpancar dari sumber yang kuas dan dalam yang bemberikan kemanusia kapada manusia sejumlah hukum yang positif yang dapat dipergunakan sepangajang masa dan di mana saja.
Prinsip-prinsip hukum islam dan kaidah-kaidah universalnya bisa mengakomodasi semua tuntutan waktu dan tempat, kapan dan dimanapun. Hal itu bukan berati hukum islam berubah-rubah tergantung siapa, kapan dan dimana tetapi karena hukum islam itu mempunyai dua dimensi hukum.
Pertama, hukum yang berhubungan dengan prinsip-prinsip hukum islam dan kaidah-kaidah universalnya permanen, tidak berubah dengan berubahnya waktu dan tempat. Sebagai contoh, keharusan untuk berlaku adil dalam sestem peradilan adalah merupakan prinsip dan kaidah universal dan permanen, tidak berubah dengan berubahnya waktu dan tempat tetapi masalah tekni dan operasional penegakan peradilan, itu tergantung tempat dan pelaksanaan peradilan dan itu bisa berubah dari waktu kewaktu dan dari suatu tempat ketempat lain.
Kedua, hukum yang berhubunga dengan teknis dan operasional, dimana hukum tersebut dipengaruhi oleh tuntunan waktu dan tempat. Sebagai contoh, untuk mencapai keadilan itu ada teknis dan mekanisme, bisa melalui lembaga peradilan, lembaga arbitrase atau lembaga bisa yang berusaha untuk memadaikan pihak-pihak yang bersengketa. Begitu pula alat-alat pembuktiannya, bisa dilakukan dengan menyiapakan data dan bukti faktual, atau melalui kesaksian atau melaluai seumpah atau melaluai qarinah (tanda) dan lainya.
7.      Al-‘adalah (adil)
Allah telah menegakkan keadilan dimuka bumi dan di langit dan menyuruh makhluknya untuk menegakkannya dan melaksanakannya, hal itu ditegaskan dalam firmannya:
      “wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang  yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi kerena allah biyarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena inggin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar kebalikan (kata-kata) atau engan menjadi saksi, maka sesungguhnya allah maka mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”
      Khalifah Umar Bin khathob pernah menulis surat kepada salah seorang Qadhi, Abu Musa al-asy’ari yang isinya, “persakanlah semua manusia didalam majelismu, didepanmu dan dipengadilanmu agar para bangsawan tidak tamak kepada kecuranganmu dan orang yang lemah tidak putus asa terhadap keadilanmu. Jaganlah engkau dihalangi untuk kembali kepada kebenaran oleh keputusan yang telah engakau putuskan pada hari ini kemudian kelihatan olehmu mana yang benar setelah mengulangi penyelidikan, karena sesungguhnya kebenaran itu adalah barang yang sedah lama, tidak dapat dibatalkan oleh sesuatu apapun. Kembali kepada kebenaran adalah lebih baik daripada terus berkelimang dalam kebatilan.
      Kepada amar bin ‘Ash, Umar berkata, “sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal mereka terlahir sebagai orang-orang yang merdeka?”
      Demikianlah prinsip keadilan dan kesetraan didepan hukum diteladankan oleh muhammad saw dan diwariskan kepada umatnya.
8.      Tidak sukar
Segala bentuk taklif pembebanan hukum dalam islam adalah dalam batas-batas manusia (‘ala thaqata al-basyariyyah) hal ini sebagaimana disebutkan dalam nash-nash (dalil) berikut:
“.....dan tidak menjadika agama untuk kamu sebagai suatu kesukaran...”[9]
Jika  muncul kedua kendala-kendala dalam menjalankan hukum syari’ secara sempurna, maka Allah swt memberikan rukhsah (keringanan) dalam pelaksanaannya. Misalnya, kebolehan tidak berpuasa ramadhan jika sakit dan dalam perjalanan, kebolehan shalat duduk jika tidak sanggup berdiri, dan sebagainya.
9.      Qillatu al-Taklif meminimalisir kewajiban hukum
Ketika al’quran menyebutkan hal-hal yang diharamkan, hal tersebut diperinci satu persatu.[10] Sedangkan kalau menyangkut hal-hal yang diperolehkan tidak dijelaskan secara rinci.[11] Allah juga tidak membenarkan kita untuk mengharamkan sesuatu yang tidak di jelaskan keharamannya oleh nash (dalil syar’i).
Dalam hal ibadah, kai’dah ushul fiqih mengungkapkan “hukum asal dalam ibadah adalah haram, sampai ada dalil yang mengatakan sebaliknya”. Sementara dalam perkara muamalah (hubungan antara manusia), kai’dah ushul fiqih mengatakan, “hukum asal dalam muamalah adalah boleh, sampai ada dalil yang mengakatkan sebaliknya.”
10.  Jalbu al-mashalih
Hukum yang diterapkan oleh nabi muhammad saw adalah hukum yang sesuai dengan kemaslahatan manusia. Misalnya, kiblat pada mulanya diarahkan ke baitul maqdis selama enam belas bulan, kemudain dimanskuh (diganti) menghadap kemasjidil haram dimakkah zina dilarang agar manusia dapat hidup lebih bermatabat dan jelas diturunkannya. Sebagai gantinya, nikah di anjurkan agar manusia hidup tentram.
11.  Takamul/Syumul
Takamul berarti hukum islam itu bersifat tetap, sempurna dan berkumpul padanya berbagai macam pandangan hidup. Hukum islam membentuk umat dalam kesatuan yang padu walaupun mereka berbeda-beda bangsa, bahasa dan budaya. Walaupun terjadi perubahan ruang dan waktu, namun hukum islam tetap mempunyai krakter yang utuh, hormanis dan dinamis.
Hukum islam menghimpun berbagai hal dalam satu kesatuan. Karenanya hukum islam tidak menghendaki adanya pertentangan antar ushul pokok dengan furu’ (cabang). Satu sama lain melengkapi, saling menguatkan.
Hukum islam dapat diterima oleh ahlul naqlyang mengutamakan teks wahyu dibidang rasio, dan ahlul ‘aql yang lebih mengutamakan rasio dibidang teks wahyu.
Hukum-hukum islam itu terdiri dari beberapa bagian:
a.       Hukum yang berhubungan dengan aqidah
b.      Hukum yang berhubungan dengan akhlak
c.       Hukum yang berhubungan dengan manusia dan penciptanya
d.      Hukum yang menyangkut hubungan atara manusia dengan sesama manusia, yang terdiri dari hukum keluarga, hukum sipil, dan hukum pidana.
F.     Periode pembentukan hukum islam
Pada masa Rasulullah saw sember hukum yang paling utama adalah al-qur’an dan sunnah nabawiyah. Prilaku beliau pun didasarkan kepada wahyu yang disampaikan kepadanya.
Para ahli sejarah hukum islam biasanya membagi periodesasi hukum islam pada masa Rasulullah saw menjadi periode makah dan periode madinah. Menurut mereka terdapat perbedaan karakteristik dakwah dan pembinaan hukum antara periode makkah dan sesudah hijrah.
1.      Fase makkah
Rasulullah saw menerima wahyu di makkah selam kurang lebih 13 tahun. Karakteristik wahyu yang diturunkan di makkah lebih ditekankan pada demensi akidah dan akhlak dan belum menyentuh masalah-masalah hukum praktis dengan sedikit pengecualian. Adapun sebab penekanan pada aqidah karena aqidah itu merupakan fondasi utama untuk membentukan semua hukum yang akan diberlakukan, baik ibadah, muamalah, maupun akhlak.
Pada masa ini belum banyak hal-hal yang menyangkut hukum yang disampaikan oleh muhammad saw. Karena itu tidak ada aturan-aturan hukum di dalam surat-surat yang tergolong surat-surat makiyah seperti surat yunus, al-ra’du. Yasin, dan al-furqan. Kebanyakan ayat-ayat makiyah berisikan hal-hal mengenai keimanan, politik dan lainya.
2.      Fase madinah
Setelah 13 tahun menerima wahyu di makkah dengan berbagai tantangan dan hambatannya, beliau diizinkan untuk berhijrah ke madinah untuk dijadikan sebagai tempat pengembangan dakwah dan pengokohan aplikasi hukum Islam.
Beliau dan para sehabatnya berhijrah ke madinah untuk mendapatkan tempat yang cocok untuk mendukung aplikasi system hukum dan mendirikan masyarakat baru dengan system baru, baik dari segi manajemen, hukum, social, politik dan lainnya.
Dalam hubunga ini lah kemudian disyariatkan hukum-hukm perkawinan, waris, wasiat, jual beli, sewa, hutang-piutang dan berbagai persoalan muamalah lainnya. Demikina juga dengan hukum yang berhubungan dengan pemeliharaan keamanan dalam masyarakat (jinayah) seperti hukum qisash, pencurian, zina, dan sebagainya.
Oleh karena itu lah surat-surat madaniyah, seperti surat al-baqarah, ali-‘imran, an-nisa, al-maidah, at-tawbah, an-nur, al-ahdzab, dan sebagainya banyaknya mengandung ayat-ayat hukum disamping mengandung ayat-ayat tentang aqidah, akhlak, sejarah, dan lain-lain.
G.    Madinah kota peradaban berlandaskan hukum dan keadilan
Manusia adalah makluk social sehingga tidak mungkun hidup dengan baik dalam isolasi. Sementara itu, persyatan kehidupan social adalah adanya peraturan yang disepakati dan dipatuhi bersama. Peraturan itu dapat berupa ajaran keagamaan yang bersumber dari wahyu ilahi, dapat pula dari hasil perjanjian antara sesama anggota masyarakat. Masyarakat beradap harus menghormati dan menaati penjanjian antara manusia dengan tuhan, yaitu berupa ajaran agama.[12]
Dalam hal keteguhan kepada hukum dan aturan itu masyarakat madinah yang dipinpin nabi Muhammad saw telah memberi keteladanan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada siapa pun agar menunaikan amanat-amanat yang diterima dan dilajankan hukum aturan manusia dengan asli, masyarakat madinah adalah masyarakat hukum dan keadilan dengan tingkat kepastian yang tinggi.
Kepastian melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap, tanpa khawatir akan berakhir dengan hasil yang berbeda dari harapan. Kepastian hukum islam itu pangkal dari paham yang amat teguh bahwa semua orang adalah sama hak dan kewajiban di depan hukum, dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan latar belakang social ekonomi para pihak yang bersangkutan.
Ajaran tentang keharusan mutlak untuk menjalankan hukum dengan adil dan merata itu banyak dijumpai dalam al-qur’an. Bahkan disebutkan sekalipun harus menimpa orangtua sendiri dan karib kerabat.[13] Nabi Muhammad saw juga menegaskan bahwa kehancuran bangsa-bangasa terdahulu karena jika “orang kecil” melangar pasti dihukum, sendangkan bila orang penting itu melangar pasti dibiyarkan berlalu.
H.    Metode Pembentukan Hukum Islam
Kekuasaan tasyri’iyyah (legislatif) pada masa itu dipengang oleh beliau sendiri, walaupun dalam hal-hal mendesak dan tidak ada nash (wahyu) dan petunjuk dari nabi Muhammad saw, para sahabat berijtihat mancari hukum, seperti yang dilakukan Ali Bin Abi Thalib ketika diutus ke Yaman, dan Mu’az bin Jabal ketika diangkat menjadi hakim di Yaman, Amr bin Ash, dan lain-lain.
Pembentukan hukum pada masa Rasulullah saw tersebut dengan dua metode, yaitu:
1.      Munculnya hukum yang menuntut adanya hukum yang mengatur atau ada masalah beru yang berkembang dikalangan umat Islam. Dalam kondisi seperti ini, maka Rasulullah saw menunggu sampai wahyu datang mengatur kejadian-kejadian baru tersebut atau beliau berijtihat. Kalau ijtihatnya salah maka wahyu yang akan turun untuk membetulkan kesalahan ijtihatnya. Jika ijtihatnya benar maka wahyu juga akan turun untuk menegaskan kembali.
2.      Allah menetapakan hukum tanpa diawali terlebih dahulu oleh sebuah pertanyaan atau sebuah kejadian. Hal itu karena Allah memandang bahwa sudah tiba waktunya untuk menurunkan hukum tersebut untuk mengatur masyarakat Muslim. Hukum Islam ditetapakan bukan karena ada kejadian atau masalah pada waktu itu saja, tetapi juga karena untuk menjawab persoalan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Hukum juga untuk membentuk model berdasarkan prinsip-prinsip tertentu seperti masalah penentuan kadar zakat, penerapan system syura(musyawarah), permasalahan hukum keluarga dan lain-lain.
I.       Keistimewaan Hukum Pada Masa Rasulullah Saw
Hukum yang ditetapakan pada masa ini mempunyai beberapa karakteristik, antara lain:
1.      Penetapan hukum secara bertahap. Hal ini bisa terjadi pada dimensi waktunya atau pun pada jenis hukumnya sehingga hukum yang dibebani kepada umat Islam benar-benar bisa diterima dengan mudah dan tidak memberatkan.
2.      Mengangkat beban, artinya karakteristik hukum pada masa ini selalau menuntut kemudahan dan keluasan dan tidak memberatkan atau pun menyulitkan seperti yang ditegaskan dalam salah satu firmanNya:
“….Allah mengendaki kemudian bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran….”
3.      Berlakunya nasakh(amandemen) hukum. Proses nasakh ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan umat dan untuk meringankan beban hukum (taklif).
J.      Ijtihat Dalam Menetapkan Hukum Pada Masa Rasulullah Saw
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, fiqh yang berlaku pada masa itu adalah fiqh wahyu. Arinya, sumber hukum pada waktu itu hanya bersumber dari wahyu semata. Walaupun begitu, ketika timbul suatu masalah, Rasulullah saw pernah melakukan ijtihatdan menyuru sahabatnya untuk berijtihat pula. Jika ijtihat tersebut salah, maka diluruskan dengan wahyu pula.
Pada masa ini, metode ijtihatmerupakan cara yang legal dan diakui sebagai salah satu sumber hukum tapi hal itu dengan syarat tidak bisa terpisah dari wahyu dalam kata lain, eksisitensinya menunggu persetujuan wahyu.
1.      Kesatuan hukum
Hukum yang diterapkan pada masa ini adalah berdasarkan satu sumber sehingga menciptakan kesatuan hukum dan tidak menimbulkan perbedaan secara perselisihan karena bermuara dari satu sumber, yaitu wahyu. Adapun iijtihat, baik ijtihat Rasulullah saw maupun ijtihat sahabat semuanya dianggap hukum apabila mendapatkan justifikasi dari wahyu, baik itu dari proses pembetulan atau pun melauli penegasan wahyu.
2.      Kodifikasi hukum
Dalam rangka menjaga keutuhan dan keamana hukum serta sosialisasinya, Rasulullah saw selalu menuliskan wahyu dengan cara mengangkat beberapa orang sekretaris seperti Zaid bin Tasbit, Ali bin Abi Thalib, dan lainya. Tugas mereka adalah menulis semua hukum yang telah ditetapkan oleh wahyu sehingga semua hukum yang diturunkan melaluinya sudah terkodifikasi dalam bentuk tulisan-tulisan, baik itu ditulis diatas kulit ataupun di atas pelpah-pelpah kurma sehingga ketika Rasulullah saw meninggal, hukum-hukum tersebut sudah terpatri dalam halaman mereka. Tertulis dalam berbagai media walaupun belum tersusun dengan rapi. Dapun hukum yang ditetapakan secara makna saja (hadist) tidak dikodifikasi dalam bentuk tulisan tapi lebih banyak dalam bentuk hafalan-hafalan. Hal itu untuk menghindari tercampurnya hadis-hadis dengan hukum yang ditetapakan secara lafaz dari Allah swt.




[1] Qs. Al-najm (53): 3-4
[2] Qs. Al-najm (53): 3-4
[3] Qs. Al-insan (76): 23
[4] Qs. Al-baqarah (2): 219
[5] Qs. Al-nnisa’ (4): 43
[6] Qs. Al-ma’idah (5): 90
[7] Qs. Al-baqarah (2) : 238
[8] Qs. Al-baqarah (2): 183-185
[9]Qs. Al-Hajj (22):78.
[10] Misalnya, qs. Al-maidah (5):4; al-nisa’(4):22
[11] Qs. Al-baqarah (2):29; al-ma’idah (5):6
[12] Qs. Al-nahl (16): 91.
[13] Qs. Al-nisa’ (4): 135

0 komentar:

Posting Komentar

 

Absen Pendatang