Metodelogi pendidikan kualitatif

MAKALAH
METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF
(Pendekatan Positivistik)




Disusun Oleh;
Zulkipli (KPI)
M. Wardhan (KI)
Dosen Pengampu;
Ust. Mahmudi M.Pd.I

Sekolah Tinggi Agama Islam Lukman al-Hakim
Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya
Tahun Ajaran 2013/2014




DAFTAR ISI
Cover
Daftar isi.................................................................................................................iii
Kata pengantar.......................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..........................................................................................1
B.     Rumusan Masalah.....................................................................................1
BAB 11 PEMBAHASAN
A.    Pengertian Positivistik..............................................................................2
B.     Pendekatan Positivistik............................................................................3
Teori Pendekatan Empirik.......................................................................6
Teori Penalaran Induksi..........................................................................7
Teori Aposteriori.....................................................................................8

BAB III KESIMPULAN
Daftar Pustaka..............................................................................................v         

KATA PENGANTAR
Metodelogi penelitian merupakan cara yang digunakan dalam menemukan kebenaran. Pendekatan positivistik merupakan pendekatan yang mana dalam mencari kebenaran itu berdasarkan fakta-fakta.
Dengan demikian, maka yang dapat diselidiki adalah data-data yang empirik atau nyata yang sering dinamakan dengan positif.
pendekatan ini juga sangat penting dan akan memudahkan bagi peneliti karena dalam mencari kebenaran hanya berdasarkan pada fakta-fakta yang nyata.
Pendekatan positivistik merupakan pendekatan yang sangat berperan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini tentu tidak lepas dari peran pencetus yang memahami dunia berdasarkan sains serta mengandalkan kemampuan yang bersifat empiris.
Hadirnya makalah ini, tidak lain adalah untuk memudahkan bagi peneliti dalam memahami cara pandang positivisme guna mendapatkan kebenaran, dan bermanfaat bagi kita semuanya.

  

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Positivistik adalah filsafat yang menyatakan keutamaan observasi dalam menilai kebenaran pernyataan atau fakta dan berpendapat bahwa argumentasi metafisik dan subjektif yang tidak didasarkan pada data yang dapat diamati adalah tidak bermakna.(Seels&Barbara, 2002)
Penganut filsafat positivistik berpendapat bahwa keberadaan sesuatu merupakan besaran yang dapat diukur. Penelitian adalah pengamat yang objektif atas peristiwa yang terjadi didunia. Mereka percaya bahwa variable yang mereka teliti merupakan suatu yang telah ada di dunia. Hubungan antara variable yang mereka temukan telah ada sebelumnya untuk dapat diungkapkan. Pengetahuan merupakan pernyataan atas fakta atau keyakinan yang dapat diuji secara empirik. Positivisme yang merupakan salah satu akar dari filsafat modern, merupakan suatu paham yang hanya menerima ilmu kealaman sebagai satu-satunya ilmu yang benar.
Oleh karena itu penulis akan mencoba menguraikan beberapa hal mengenai pendekatan dengan metode positivistik di dalam makalah ini, semoga dengan uraian ini kita lebih dapat memahami tentang positivistik, sehingga kita bisa mencari kebenaran dalam setiap kejadian.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian Positivistik
2.      Pedekatan Positivistik




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Positivistik
Positivistik berasal dari kata positive. Yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi. Yang dapat dialami sebagai suatu realita. Ini berarti, apa yang disebut sebagai positif bertentangan dengan apa yang hanya ada didalam angan-angan (impian), atau terdiri dari apa yang hanya merupakan konstruksi atas kreasi kemampuan untuk berpikir dari akal manusia. Pengertian positivisme berarti merupakan suatu paham yang dalam ‘pencapaian kebenaran’-nya bersumber dan berpangkal pada kejadian yang benar-benar terjadi.
Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empiris yang terukur. ‘Terukur’ inilah sumbangan penting positivisme. Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan demikian hanya  bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi metafisis dihindari.
Tugas pertama bagi logika positivisme adalah mendefinisikan apa yang menjadi tuntutan dalam penyusunan suatu ilmu pengetahuan. Hasilnya adalah untuk menganalisis bentuk logika dari suatu pernyataan. Pernyataan yang tidak hanya analitis (contoh; definisi) atau sintetis (pernyataan yang merupakan bukti dari fakta) yang digolongkan nyata secara kognitif atau bermakna. Semua pernyataan lain tidak nyata secara kognitif bila; tidak bermakna, metafisik, dan tidak ilmiah. Analisis filosofi yang menggunakan pernyataan seperti itu mungkin sebagai ekspresi sikap emosi, atau sikap umum mengenai kehidupan, atau nilai moral. Tetapi tidak dapat dinyatakan sebagai ilmu pengetahuan.[1]

B.     Pendekatan Positivistik.
Pendekatan positivistik mengandalkan kemampuan pengamatan langsung (empiris), penalaran yang di gunakan adalah induktif, model pendekatan positivistik diilhami oleh gerakan keilmuan masa modern, yang mengharuskan adanya kepastian didalam suatu kebenaran. Dan untuk memahami pendekatan positivistik lebih dalam lagi kita harus memahami dulu tentang kebenaran itu.
Kebenaran dapat dibedakan dalam 4 bagian;
a.       Kebenaran inderawi, adalah kebenaran paling dasar yang diperoleh melalui panca indera kita dan dapat dilakukan oleh siapa saja.
b.      Kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang diperoleh melalui kegiatan yang sistematik, logis, dan etis oleh mereka yang terpelajar.
c.       Kebenaran falsafi, adalah kebenaran yang diperoleh melalui pemikiran/kontemplasi mendalam oleh orang yang sangat terpelajar dan hasilnya diterima serta dipakai sebagai rujukan oleh masyarakat luas.
d.      Kebenaran religi, adalah kebenaran yang diperoleh dari yang maha pencipta melalui wahyu kepada para nabi serta diikuti oleh mereka yang menyakininya.
Kebenaran falsafi dan kebenaran religi dianggap sebagai kebenaran mutlak. ini hanya ada dua pilihan; ambil atau tinggalkan (take it or leave it), kalau kita mengambilnya atau menganutnya maka kita harus mengerjakan semua perintah atau ajarannya. Namun justru karena perkembangan dalam falsafah dengan agama itu sendiri, serta perkembangan budaya dan akal manusia. Maka kita mulai mempertanyakan apakah kebenaran mutlak itu mengharuskan adanya kesatuan pengertian dalam segala hal mengenai hidup, kehidupan, dan bahkan alam semesta ini yang seragam?
Dari penjelasan diatas, penulis berpendapat bahwa hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti hendaknya dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun ketuhanan. Hal ini sesuai dengan hakikat penelitian itu sendiri.


Selain itu tingkat kejujuran seorang peneliti akan hasil penelitiannya juga harus dapat dijamin, karena kejujuran ilmiah seorang peneliti akan berdampak luas kepada pengguna hasil penelitian tersebut. Eichelbelger membedakan paradigma filsafat yang melandasi metodologi pengetahuan, yaitu; positivistik, fenomelogik, dan hermeneutik. Pada makalah ini kami ( penulis) akan mengupas tentang penelitian teknologi pendidikan dengan pendekatan positivistik.
Penelitian teknologi pendidikan dengan pendekatan positivistik;
1.      Pendekatan positivistik.
Positivistik adalah filsafat yang menyatakan keutamaan observasi dalam menilai kebenaran pernyataan atau fakta dan berpendapat bahwa argumentasi metafisik dan subjektif yang tidak didasarkan pada data yang dapat diamati adalah tidak bermakna. (Seels&Barbara, 2002) penganut filsafat positivistik berpendapat bahwa kebenaran sesuatu merupakan besaran yang dapat diukur. Penelitian adalah pengamat yang objektif atas peristiwa yang terjadi di dunia. Mereka percaya bahwa variable yang mereka teliti merupakan suatu yang telah ada di dunia ini. Hubungan antara variable yang mereka temuka, telah ada sebelumnya untuk dapat diungkapkan. Pengetahuan merupakan pernyataan atas fakta atau keyakinan yang dapat diuji secara empirik.
2.      Tahapan/Tingkatan cara Berpikir Positivistik.
Salah satu buah pikiran yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu; tingkatan teologi, tingkatan metafisik, dan tingkatan positif.[2]
Tingkatan teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian di alam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah. Dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada-Nya agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari 3 tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana tuhan atau dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam.
Dalam tahapan ini ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bencana.
Tingkatan positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta. Pada tahapan kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta. Maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri. Dengan ditemukan huku-hukum alam, dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia. Tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi. Ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif. Oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenonim) tidak mempunyai arti. Oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savior pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.



Teori Pendekatan Empirik
Kata ini berasal dari kata yunani empeirikos, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.
Dengan inderanya, manusia dapat mengatasi taraf hubungan yang semata-mata fisik dan masuk kedalam medan intensional, walaupun masih sangat sederhana. Indera menghubungkan manusia dengan hal-hal konkret-material.[3] Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya. Berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.[4]
Hal ini dapat dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti; “Bagaimana orang mengetahui es itu dingin?” seorang empiris akan mengatakan, “karena saya merasakan hal itu atau karena seorang ilmuwan telah merasakan seperti itu”. Dalam pernyataan tersebut ada tiga unsur yang perlu, yaitu yang mengetahui (subjek), yang diketahui (objek), dan cara dia mengetahui bahwa es itu dingin. Bagaimana dia mengetahui es itu dingin? Dengan menyentuh langsung l ewat alat peraba. Dengan kata lain, seorang empiris akan mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh lewat pengalaman-pengalaman inderawi yang sesuai.[5]
John Locke (1632-1704), bapak empiris Britania mengemukakan teori tabula rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya adalah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, Lantas ia memiliki pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana. Lama- kelamaan menjadi kompleks. Lalu tersusunlah pengetahuan berarti.

Jadi bagaimanapun kompleks pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang benar. Jadi dalam empirisme, sumber utama untuk memperoleh pengetahuan adalah data empirik yang diperoleh dari panca-indera. Akal tidak berfungsi banyak. Kalaupun ada, itu pun sebatas ide yang kabur.[6]

Teori Penalaran Induksi
Penalaran induksi adalah penalaran dengan kesimpulan yang wilayahnya lebih luas daripada premisnya, sehingga merupakan cara berfikir dengan menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Keuntungan dari cara berfikir ini adalah mengkondisi berlanjutnya penalaran, dan sangat ekonomis. Contoh induksi;
Jika seseorang akan melakukan penelitian dengan menggunakan metode induksi, maka harus melalui tahapan-tahapan berikut;
1.      Perumusan masalah: masalah yang hendak dicarikan penjelasan ilmiahnya.
2.      Pengajuan hipotesis: mengajukan penjelasan yang masih bersifat sementara untuk diuji lebih lanjut melalui verifikasi.
3.      Pengambilan sample: pengumpulan data dari beberapa fakta particular yang dianggap bisa mewakili keseluruhan untuk keperluan penelitian lebih lanjut.
4.      Verifikasi: pengamatan disertai pengukuran statistik untuk memberi landasan bagi hipotesa.
5.      Tesis: hipotesis yang telah terbukti kebenarannya.




Teori Aposteriori
Proses pikir yang dikembangkan manusia semakin memberikan pemahaman dan pengertian, apa yang merupakan obyek pengetahuan ilmiah. Pendalaman dilakukan sebagai upaya mencapai musabab pertama (the first causes), ataupun sebab terakhir (the last causes). Dari pengembaraan pikir inilah ditemukan dua model yang mewakili kelompok ilmu.
Aposteriori berasal dari kata latin ‘Post’ yang maknanya ‘sesudah’, oleh karenanya segala ungkapan ilmu baru terjadi ketika seseorang melakukan pengamatan melalui inderanya. Aposteriori cara kerjanya berada pada ruang lingkup ilmu-ilmu empiris yang sering disebut dengan cara induksi.
Jadi, aposteriori merupakan hasil/ kesimpulan yang ditarik dari pengalaman, melalui penalaran induksi. Sebagai hasil dari data yang empirik yaitu merupakan kelompok ilmu yang mementingkan pengamatan dan penelitian.
Sejarah Positivistik
Pada abad ke-19, dunia filsafat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Pengaruh itu terutama sangat terasa di bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam sejarah filsafat barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan ‘Abad Positivisme’. Suatu abad yang ditandai dengan dominasi fikiran-fikiran ilmiah, atau apa yang disebut ilmu pengetahuan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai dan diukur menurut nilai positivistiknya. Sedang perhatian orang kepada filsafat, lebih ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan perbuatan manusia. Orang tidak lagi memandang penting tentang ‘dunia yang abstrak’.
Auguste Comte (1798-1857), adalah pendiri aliran filsafat positivisme. Telah menampilkan ajarannya yang sangat terkenal, yaitu hukum tiga tahap (law of three stages). Melalui hukum ini dinyatakan bahwa sejarah manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan telah berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah/riil. Secara eksplisit juga ditekankan bahwa istilah ‘positif’ adalah suatu istilah yang dijadikan nama bagi aliran filsafat yang dibentuk sebagai sesuatu yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari sesuatu yang negatif.
1.      Tahap teologi atau fiktif
            Tahap ini merupakan tahap pertama atau awal setiap perkembangan jiwa atau masyarakat. Dalam tahap ini manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kekuasan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk insani biasa. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul begitu saja , melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara bertahap, yaitu:
a.       Fetisyisme/animisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan segala sesuatu yang berada di sekeliling tadi akan mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga manusia harus menyesuaikan diri dengannya. Adapun yang dimaksud dengan segala sesuatu itu adalah benda-benda alam seperti gunung, pohon, batu dan lain lain.
b.      Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu tidak lagi berasal dari benda-benda yang berada di sekeliling manusia, melainkan berasal dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekeliling manusia. Oleh karena itu, segala fikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia harus disesuaikan serta diabdikan kepada keinginan para makhluk yang tidak keliatan tadi. Berdasarkan kepercayaan ini maka kepercayaan timbul bahwa setiap benda, gejala dan peristiwa alam dikuasai dan diatur oleh dewanya masing-masing. Akibatnya, demi kepentingan dan keselamatan dirinya, manusia harus mengabdi dan menyembah para dewa tadi melalui upacara-upacara ritual.
c.       Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa melainkan berasal dari satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan satu-satunya penentu, sebab pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada, sehingga dengan demikian segala fikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia selalu diorientasikan kepada Tuhan, sejalan dengan dogma – dogma agama yang dianut manusia.
2.      Tahap metafisik atau abstrak
Dengan berakhirnya tahap monoteisme, maka berakhir pula tahap teologi atau fiktif. Hal ini disebabkan karena manusia mulai merubah cara-cara berfikirnya, dalam usahanya untuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam. Dogma-dogma agama ditinggalkan, kemampuan akal budi dikembangkan. Tahap metafisik menurut Auguste Comte merupakan tahap peralihan, walaupun dalam tahap metafisik ini jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun disini manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan adikodrati, dan beralih pada kekuatan abstraksinya. Pada saat inilah istilah ontologi mulai dipergunakan. Karena itulah dalam tahap metafisik, jiwa manusia sering mengalami konflik, karena di satu pihak pengaruh.


KESIMPULAN

Pendekatan positivistik mengandalkan kemampuan pengamatan langsung (empiris), penalaran yang digunakan adalah induktif, dan mencoba mengungkap kepastian didalam suatu kebenaran dengan meneliti data-data yang ada didalamnya. Data-data tersebut harus dapat diukur, di amati, diuji dan diramalkan, sehingga positivistik menganggap metafisik dan subjektif yang tidak didasarkan pada data yang dapat di amati adalah tidak bermakna.
Ada 3 tahapan cara berfikir positivistik yaitu, tingkatan teologi, tingkatan metafisik, dan tingkatan positif.
1.      Tingkatan teologi (pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat).
2.      Tingkatan Metafisik (pada tingkatan ini merupakan suatu variasi dari berfikir teologis).
3.      Tingkatan Positif (pada tingkatan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam).

.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim Atang, Beni Ahmad Soebani, 2008, Filsafat umum, Pustaka Setia, Bandung.
 Bakker Anton, Charris Zubair Ahmad ,  Metedologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius, 1994).

Mulyana Deddy, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Muhadjir Noeng, 1998, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rake Sarasin, Yogyakarta.






[1] Moritz Schlich, Herbert Feigl, Kurt Gödel, Hans Hahn, Otto Neurath, Friedrich Waismann, Rudolf Carnap dan kelompok lain yang sering disebut Vienna Circle, tahun 1920.

[2] Drs. Atang Abdul Hakim, M.A dan Drs. Beni saebani, M.Si, Filsafat Umum dari Metodologi sampai Teofilosofi, Bandung: pustaka setia, 2008.
[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004), edisi revisi, hlm. 98.
[4] Anton Bakker, Ahmad Charris Zubair, Metedologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius, 1994), cet.IV, hlm. 22.
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2004), edisi revisi, hlm. 99.


[6] Ahmad Tafsir, op.cit., hlm. 24.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Absen Pendatang