Model Etnograkfik
1. Model
Etnografik
Ethnographi merupakan salah satu
model penelitian yang lebih banyak terkait dengan anthropologi, yang mempelajari
peristiwa cultural, yang menyajikan pandangan hidup subyek yang menjadi obyek
studi. Lebih jauh ethonographik telah diperkembangkan menjadi salah satu model
penelitian ilmu-ilmu social yang menggunakan landasan filsafat phenomenologi.
Studi ethnographic merupakan salah satu deskripsi tentang cara mereka berfikir,
hidup, berprilaku; kalau sbyek studi kita anak-anak TK, maka kita peneliti
berupaya menghayati dan mendeskripsikan bagaimana anak TK menghayati interaksi
di TK, bagaimana persepsi mereka (bukan persepsi berdasar angan kita yang
dewasa). Ethnographi bukan deskripsi kehidupan masyarakat kita dalam beragam
situasinya, sebagaimana adanya: dalam kehidupan kesehariannya, cara mereka
memandang kehidupan, perilakunya dan semacamnya. Ethnomethodologi merupakan
metodologi penelitian yang mempelajari bagaimana perilaku social dapat
dideskripsikan sebagaimana adanya. Istilah ethnometodologi dikemukakan oleh
Harold Garfinkel.
Ethnometodhodologi berupaya untuk memahami
bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan kata hidup mereka
sendiri. Agar dapat dibuat laporan ethnographic perlu dipelajari metodologinya,
yaitu ethnometodologi.
Model-Model penelitian yang serumpun adalah
model grounded research dengan tokoh utamanya Glasser & Strauss, model
paradigma naturalistic dengan tokoh utamanya Blumer dan Kuhn. Ketiga model
tersebut bersama model ethnographik-ethnometodologik merupakan sampel utama
perkembangan utama metodologi penelitian kualitatif.
Modus
Asumsi dan Sampel Penelitian Ethnographik
Konseptualisasi metodologik model penelitian
ethnographic dapat dikerangkakan menjadi empat dimensi, yaitu : 1) induksi
deduksi, 2) generatif-verifikatif, 3) konstruktif-enumeratif, dan 4)
subyektif-obyektif. Penelitian ethnographic lebih cenderung mengarah ke kutub
induktif, generatif, konstruktif, dan subyektif.
Dimensi induktif-deduktif menunuk kedudukan
teori dalam studi penelitian; penelitian deduktif berharap data empirikdapat
mendukung teori; sedangkan penelitian induktif berharap dapat menemukan teori
yang dapat menjelakan datanya. Dimensi generatif-verifikatif menunjuk kedudukan
dalam evidensi dalam studi penelitian; penelitian verifikatif berupaya mencari
evidensi agar hipotesinya dapat diaplikasikan lebih luas, dapat diperlakukan
universal; sedangkan penelitian generatif lebih mengarah ke penemuan konstruksi
dan proposisi dengan menggunakan data sebagai evidensi.
Dimensi konstruktif-enumeratif menunjukkan
seberapa jauh unit analisis suatu penelitian dirumuskan ataudijabarkan. Dalam
penelitian dengan strategi konstruktif mengarahkan penelitiannya untuk
menemukan konstruks atau kategori lewat analisis dan proses mengabstraksi;
sedangkan strategi enumeratif dimulai dengan menjabarkan atau merumuskan unit
analisis. Desain penelitian dapat pula dilihat pada dimensi kontinum antara
subyektif dengan obyektif.
2. Model Etnometodologik
Pengertian dan Konsep Etnometodologi
Neuman
(1997) mengartikan etnometodologi sebagai keseluruhan penemuan, metode,
teori, suatu pandangan dunia. Pandangan etnometodologi berasal dari
kehidupan. Etnometodologi berusaha memaparkan realitas pada tingkatan
yang melebihi sosiologi, dan ini menjadikannya berbeda banyak dari sosiologi
dan psikologi. Etnometodologi memiliki batasan sebagai kajian akal
sehat, yakni kajian dari observasi penciptaan yang digunakan terus-menerus
dalam interaksi sosial dengan lingkungan yang sewajarnya. Secara terminology, etnometodologi
diterjemahkan sebagai sebuah metode
pengorganisasian masyarakat dengan melihat beberapa aspek kebutuhan,
diantaranya: pencerahan dan pemberdayaan. Etnometodologi bukanlah metode
yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk pada
permasalahan apa yang akan diteliti. Etnometodologi adalah studi tentang
bagaimana individu menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari, metodenya
untuk mencapai kehidupan sehari-hari. Etnometodologi didasarkan pada ide
bahwa kegiatan sehari-hari dan interaksi sosial yang sifatnya rutin, dan umum,
mungkin dilakukan melalui berbagai bentuk keahlian, pekerjaan praktis, dan
asumsi-asumsi tertentu. Keahlian, pekerjaan praktis, dan asumsiasumsi itulah
yang disebut dalam etnometodologi.
Tujuan
utama etnometodologi adalah untuk mempelajari bagaimana anggota
masyarakat selama berlangsungnya interaksi sosial, membuat sense of
indexical expression. Istilah indexical tidak bermakna
universal namun bergantung pada konteks (misalnya, ia, dia, mereka). Sifatnya
terbatas pada yang diindeks atau dirujuk Subjek etnometodologi bukanlah
anggota-anggota suku-suku terasing, melainkan orang-orang dalam perbagai macam
situasi dalam masyarakat kita. Etnometodologi berusaha memahami
bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan
dunia di tempat mereka hidup.Pemanfaatan metode ini lebih dilatari oleh
pemikiran praktis (practical reasoning) ketimbang oleh kemanfaatan
logika formal (formal logic).
Etnometodologi
ditakrifkan
sebagai kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbangan yang
dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa. Masyarakat seperti ini bisa
mencari jalan dan bisa bertindak dalam keadaan dimana mereka bisa menemukan
dirinya sendiri (Ritzer, 1996).
Sejarah Metode Etnometodologi
Metode
etnometodologi lahir pada masa modernis atau zaman keemasan perkembangan
penelitian kualitatif. Pada masa itu terjadi proses formalisasi pendekatan
kualitatif dan pertumbuhan jenis metode interpretif yang baru. Disamping adanya
semangat untuk menyuarakan masyarakat kelas bawah, para cendekiawan di masa itu
juga kembali kepada mazhab Chicago untuk mencocokkan argumentasi tentang
validitas internal dan eksternal. Zaman keemasan ini memiliki arti dalam
mewujudkan keyakinan pada kekuatan masyarakat dan bertahan pada gagasangagasan
emansipatoris.
Dalam
studi etnometodologi, cukup sederhana cara melihat validitas, karena
biasanya disini tidak digunakan cara-cara konvensional dalam mengukur suatu
konsep. Sebagai contoh etnometodologi melihat konsep alienasi lebih
mendekati teknik grounded theory, misalnya dengan cara mengobservasi
peraturan-peraturan yang bias diamati dari luar, kemudian memberinya lebel atau
identitas tertentu. Sementara reliabilitas dapat dilihat dari hasil
pembandingannya dengan metode lain yang sejenis. Oleh sebab itu, disini sangat
bergantung pada kekuatan interpretasi peneliti terhadap masalah sosial yang
sedang dihadapinya. Namun karena masalah yang sama dilihat dari segi metode
yang berbeda, maka hasilnya pun relatif tidak akan sama (berbeda pula).
Kesalahan yang bisa dan sering muncul adalah pada kasus-kasus yang
bersifat ambigu (mendua arti), atau kasus yang
mempunyai peluang ditafsirkan berbeda-beda.
Harold
Garfinkel dipertengahan tahun 1950-an, memperkenalkan istilah etnometodologi
dalam bidang penelitian sosial yang merupakan inspirasi atas kreasi dari
sosiologi fenomenologi. Garfinkel disaat awal memunculkan atau mengembangkan
studi ini sedang mendalami fenomenologi Alfred Schutz pada New School For
Social Research. Terdapat dugaan kuat bahwa fenomenologi Schutz
sangat mempengaruhi etnometodologi Grafinkel. Ini terbukti dari asumsi
sekaligus pendirian dari etnometodologi itu sendiri. Bagi Schutz, dunia
sehari-hari merupakan dunia inter subjektif yang dimiliki bersama orang lain
dengan siapa kita berinteraksi.
Dunia inter subjektif itu sendiri terdiri dari
realitasrealitas yang sangat berganda dimana realitas sehari-hari tampil
sebagai realitas yang utama. Schutz memberikan perhatian pada dunia sehari-hari
yang merupakan common sense. Realitas seperti inilah yang
diterima secara taken for granted dimana mengesampingkan keragu-raguan,
kecuali realitas yang dipermasalahkan. Pembahasan realitas common sense Schutz
ini member Garfinkel suatu perspektif melaksanakan
studi etnometodologi sekaligus sebagai
dasar teoritis bagi riset-riset etnometodologi lainnya. Yang dimaksud realitas sosial oleh
Schutz adalah “keseluruhan objek dan kejadian-kejadian di dunia kultural dan
sosial, yang dihidupkan oleh pikiran umum manusia yang hidup bersama dengan
sejumlah hubungan interaksi. Itu adalah dunia objek kultural dan institusi
sosial di mana kita semua lahir, saling mengenal, berhubungan sejak permulaan,
kita, para aktor di atas panggung sosial, menjalani dunia sebagai suatu dunia
budaya sekaligus dunia alam, bukan sebagai suatu dunia pribadi, tetapi dunia
antar subjektif, artinya sebagai suatu dunia yang umum untuk kita semua yang
dibentangkan dihadapan kita atau yang secara potensial dapat dinikmati oleh
siapa saja dari kita; dan ini berimplikasi pada komunikasi dan bahasa”.
Sementara
pengaruh Parsons dalam etnometodologi adalah teori aksi/tindakan yang
diperkenalkan oleh Parsons. Dalam teori tindakannya, Parson berpendapat bahwa
motivasi yang mendorong suatu tindakan individu selalu berdasarkan pada aturan
atau norma yang ada dalam masyarakat dimana seorang individu hidup. Motivasi
actor tersebut menyatu dengan model model normatif yang ditetapkan dalam sebuah
masyarakat yang ditujukan untuk mempertahankan stabilitas sosial itu sendiri.
Asumsi Parsons ini senada dengan pendirian etnometodologi, terutama dari
Garfinkel dan Douglas yang mengatakan bahwa seseorang di dalam menetapkan
sesuatu apakah tindakan/perilaku, bahasa, respon atau reaksi selalu didasarkan
pada apa yang sudah diterima sebagai suatu kebenaran bersama dalam masyarakat (common
sense). Istilah etnometodologi menjadi populer ditahun 1960 sampai
dengan 1970-an dan sekarang semakin meluas diterima sebagai metode ilmiah. Para
peneliti dari aliran ini mulai memperlihatkan praktik interpretif guna
membuktikan bahwa objektivitas dunia dicapai dan dikelola secara lokal dengan
merujuk kepada sumber daya sosial secara luas (sosial dan kultural) yang
menghubungkan apa yang disebut oleh Garfinkel sebagai ‘seni’ dengan struktur
interpretif yang sudah mapan. Garfinkel sendiri adalah dosen pada UCLA di
West Coast.Sesudah Grafinkel muncullah beberapa pakar yang
mengembangkan studi etnometodologi diantaranya Jack Douglas, Egon
Bittner, Aaron Cicourel, Roy Turner, Don Zimmerman dan D. Lawrence Wieder.
Dalam
prakteknya, etnometodologi Grafinkel menekankan pada kekuatan atau
pendengaran dan eksperimen melalui simulasi. Pengamatan atau pendengaran
digunakan Grafinkel ketika melakukan penelitian pada sebuah toko. Sementara
itu, Jack Douglas menggunakan etnometodolgi untuk menyelidiki proses
yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab musabab kematian
seseorang untuk menentukan suatu kematian sebagai akibat bunuh diri. Douglas
mencatat bahwa untuk menentukan hal itu, koroner harus menggunakan pengertian
akal sehat yaitu apa yang diketahui oleh setiap orang tentang alasan orang
bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanya unsur kesengajaan (Furchan, 1992).
Etnometodologi
tidak diartikan
sebagai metode yang digunakan peneliti untuk mengumpulkan data, tetapi lebih
tertuju pada bagaimana memilih pokok permasalahan yang akan diteliti. Hal ini
sebagaimana yang dipaparkan oleh Harold Garfinkel, bahwa istilah etnometodologi
dijumpainya ketika ia mempelajari arsip lintas budaya di Yale yang
memuat kata-kata seperti etnobotani, etnofisika, etnomusik, dan etnoastronomi.
Itu mempunyai arti bagaimana para warga suatu kelompok tertentu (biasanya
kelompok suku yang terdapat di arsip Yale) memahami, menggunakan, dan
menata segi-segi lingkungan mereka. Dalam Hal etnobotani, subjek atau pokok
kajiannya adalah tanaman.
Dengan
demikian etnometodologi berarti studi tentang bagaimana
individu-individu menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari mereka, cara
mereka menyelesaikan pekerjaan di dalam hidup setiap harinya. Garfinkel sendiri
mendefinisikan etnometodologi sebagai penyeledikan atas
ungkapan-ungkapan indeksikal dan tindakan-tindakan praktis lainnya sebagai
kesatuan penyelesaian yang sedang dilakukan dari praktek-praktek kehidupan
sehari-hari yang terorganisir.
Pekerjaan
etnometodologi menurut Garfinkel(1967) studi tentang bagaimana
orang-orang sebagai pendukung dari tatanan yang lazim menggunakan sifat-sifat
tatanan itu untuk agar bagi para warga dapat terjadi ciri-ciri terorganisasi
yang kelihatan nyata. Para ahli etnometodologi berupaya bagaimana cara
orang memandang, menjelaskan, dan memberikan tatanan di dunia tempat hidupnya. Etnometodologi
telah berhasil mengajak peneliti menjadi peka terhadap isu, yaitu
penelitian itu sendiri bukan upaya ilmiah yang khas, tetapi lebih dilihat
sebagai suatu pencapaian kerja yang praktis (Bogdan dan Biklen, 1990). Etnometodologi
tidak bermakna ‘metode penelitian untuk mengumpulkan data’. Etnometodologi
adalah kajian terhadap proses yang dilakukan oleh individu-individu manusia
untuk membangun dan memahami kehidupannya sehari-hari.
Subjek
kajian etnometodologi bukanlah suku-suku terasing, tetapi orang-orang
biasa yang kita temui sehari-hari. Etnometodologi meneliti hal-hal kecil
dan sepele yang ‘hidup’ di masyarakat. Kaum peneliti etnometodologi bahkan
percaya bahwa penelitian itu sendiri tidak harus berarti kegiatan ilmiah yang
sangat unik, tetapi bisa juga dilakukan untuk hal-hal praktis dan urusan
sehari-hari. Etnometodologi menekankan dan mengakui fakta bahwa
masyarakat awam (lay public) mencoba mengakui penjelasan sosial seperti
yang dilakukan oleh ilmuwan. Lebih lanjut akal sehat mencoba menjelaskan bahwa
anggota masyarakat membuat dan menjalankan rasa sosial (kesetiakawanan sosial)
secara terus menerus.
Metode
etnometodologi memiliki warna kajian yang berbeda dibanding metode
kualitatif yang lain. Bertolak dari tradisi fenomenologis, yaitu social
phenomenology yang dikembangkan Schultz, etnometodologi kemudian
mengembangkan diri melalui jalur analitik dari hukum-hukum dasar, kemudian
mengalami pengayaan diberbagai konstruksi, yang meliputi analisis percakapan
dan kaidah interpretif.
Fokus Kajian Etnometodologi
Di
dalam etnometodologi, peneliti yang ‘berasal dari luar’ harus dapat
bersatu dan terlibat langsung dalam proses penelitian bersama-sama dengan ‘para
aktor social setempat’. Peneliti harus bisa melebur di dalam komunitas
masyarakat yang diteliti, dan karenannya harus sanggup berada bersama-sama
dengan masyarakat yang diteliti dalam satu bejana sosial yang kompleks. Hal
yang lebih ditekankan dalam etnometodologi adalah peristiwa terjadi
secara wajar di masyarakat. Dalam peristiwa itu berlangsung pola interaksi yang
dapat dibaca dan diinterpretasi secara eksplisit. Pola interaksi yang dimaksud
adalah interaksi orang-perorang (aktor sosial) dan interaksi antara orang
dengan lingkungannya (institusi dan alam). Peneliti dan para actor sosial akan
terlibat didalam interaksi dan diskusi yang intens untuk merumuskan masalah
yang dihadapi.
Realitas
sosial dihasilkan ‘dari dalam’ melalui prosedur interpretif para anggotanya.
Kondisi sosial para anggota bersifat selfgenerating. Sifat ini
menunjukkan dua sifat penting dari arti yang berhasil diungkap oleh peneliti.
Pertama, arti sebelumnya yang bersifat indeks, yaitu arti yang tergantung pada
koteks. Dalam arti, objek dan kejadian memiliki arti yang ambigu atau tidak
tentu, tanpa konteks yang jelas. Hanya melalui penggunaannya yang bergantung
pada situasi di dalam percakapan dan interaksi, abjek dan kejadian menjadi
berarti secara konkrit. Kedua, kondisi-kondisi yang memberikan konteks bagi
arti itu sendiri bersifat selfgenerating. Kegiatan-kegiatan interpretif
berlangsung secara simultan di dalam dan di sekitar setting yang menjadi
orientasinya dan yang dideskripsikannya. Jadi, realitas yang dicapai secara
sosial bersifat reflektif.
Laporan
deskriptif mengenai setting tersebut secara simultan dibentuk oleh setting yang
dibentuknya (Denzin & Lincoln, 1994). Peneliti
dan aktor sosial (nara sumber) harus berada dalam kedudukan setara, melakukan
tukar-menukar pengalaman (vis a vis), interaksi sosial yang intens (interpretive
coparticipants), dan memiliki hak yang sama (termasuk hak untuk berbeda
pendapat). Proses pencapaian kesepakatan di antara keduanya dilakukan secara
kompromi, masing-masing menggunakan akal sehat. Apa yang dimaksudkan dengan
dunia akal sehat adalah sesuatu yang biasanya diterima begitu saja,
asumsi-asumsi yang berada dibaliknya dan arti yang dimengerti bersama.
Dengan
cara demikian, masyarakat local akan lebih memahami kebutuhannya (sense
of order), sehingga rencana pengembangan masyarakat
sangat ditentukan oleh akumulasi wacana mereka. Peneliti dalam etnometodologi
tampaknya akan menjadi sosok partisan yang baik, penulis yang jujur, dan
fasilitator yang bersahabat. Logika akademis yang dimiliki peneliti dalam etnometodologi
akan diuji dengan pengalaman antarsubjek dalam proses dialog sehingga
logika akademis akan berbaur dengan common sense masyarakat lokal.
Metode etnometodologi menyiratkan sejumlah harapan yang wajar. Sekalipun
metode ini tidak memiliki hubungan langsung dengan pembangunan teori baru,
tetapi cara kerjanya dalam mengupas peran actor sosial akan cukup menyibak
kekenyalan data sosial. Cara para aktor social menjalankan tugasnya dapat
menjelaskan tempat mereka hidup: belajar menghadapi masalah, memilih
alternatif, dan melaksanakan pilihannya secara konsisten.
Dalam
metode etnometodologi, data dalam penelitian sosial adalah berupa
tindakan actor sosial yang meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit atau
dalam bentuk verbal yang lengkap, akan tetapi tetap diakui dan dapat dikerjakan
(percakapan melalui telepon, gelak tawa, tepuk tangan, pernyataan interaktif
sampai pada formulasi ucapan).
Sementara
itu dikenal lima prinsip dalam menganalisis percakapan menurut Zimmerman
(1978), yakni:
1) Pengumpulan dan analisis data yang sangat
rinci tentang percakapan
2) Aspek-aspek kecil percakapan tidak hanya
diatur oleh ahli etnometodologi akan tetapi pada mulanya oleh aktor
sendiri
3) Interaksi dan percakapan bersifat stabil dan
teratur. Peneliti bersifat otonom, terpisah dari actor
4) Kerangka percakapan fundamental adalah
organisasi yang teratur
5) Rangkaian interaksi percakapan dikelola atas
dasar tempat atau bergiliran.
Secara
metodologis, analisis percakapan berupaya mempelajari percakapan dalam dalam
konteks yang wajar, sering menggunakan alat perekam. Asumsi dasar analisis
percakapan terdiri dari:
1) Percakapan adalah landasan dari bentuk
bentuk hubungan antar personal
2) Merupakan bentuk interaksi yang paling mudah
meresap; dan
3) Percakapan terdiri dari matriks prosedur dan
praktik komunikasi yang paling terorganisasi.
Dalam
kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas
prinsip well-formed dalam sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan
agar komunikasi tetap dapat berjalan sehingga dalam etnometodologi bahasa
diguakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi saling
memahami apa yang mereka ujarkan. Dalam perkembangannya, focus kajian etnometodologi
beragam perilaku kehidupan sehari-hari, oleh karena itu muncul banyak jenis
kajian lanjutan sesuai dengan disiplin ilmu itu sendiri.
Ritzer (1996) menggambarkan sejumlah variasi
kerja etnometodologi.
1) Studi etnometodologi berlatar
belakang analisis institutional (studies of institutional setting).
Studi etnometodologi yang pertama kali dilakukan terjadi dalam setting
‘sambil lalu’ dan non-institutional, seperti di rumah. Kemudian, studi etnometodologi
berkembang untuk mempelajari praktik-praktik keseharian dalam setting
institutional yang lebih luas, seperti di pengadilan, klinik medis dan kantor
polisi. Tujuan studi semacam ini untuk memahami cara masyarakat dalam setting
tersebut melakukan tugas-tugas resminya dalam proses pembentukan institusi; dan
2) Studi etnometodologi menaruh
perhatian pada analisis percakapan (conversation analysis), dengan
tujuan untuk memahami secara detail struktur fundamental dari interaksi
percakapan.
Ritzer
(1996) merangkum dasar-dasar analisis percakapan ke dalam lima premis, yaitu:
a. Analisis percakapan mensyaratkan adanya
kumpulan dan analisis data yang detail. Data ini tidak hanya meliputi kata-kata
tetapi juga keraguraguan, desah nafas, sedu sedan, gelak tawa, perilaku non
verbal dan berbagai aktivitas lain. Semua itu menggambarkan perbuatan
percakapan aktor yang terlibat;
b. Detail percakapan harus dianggap sebagai
suatu prestasi. Aspek-aspek percakapan tidak diatur oleh etnometodologi,
tetapi oleh aktivitas metodis dari para aktor itu sendiri;
c. Interaksi umumnya dan percakapan khususnya
mempunyai sifat-sifat yang stabil dan teratur hingga keberhasilan para actor
akan dilibatkan;
d. Landasan fundamental dari percakapan adalah
organisasi yang sequential; dan
e. Keterikatannya dengan interaksi percakapan
diatur dengan dasar lokal atau dengan bergilir.
Secara
umum dapat dibedakan tiga pendekatan dasar dalam memperoleh data kualitatif
melalui wawancara:
1. Wawancara informal, yakni proses wawancara
didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara spontan
dalam interaksi alamiah. Tipe wawancara demikian umumnya dilakukan peneliti
yang melakukan observasi partisipatif. Dalam situasi demikian, orang-orang yang
diajak berbicara mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang diwawancarai secara
sistematis untuk menggali data:
2. Wawancara dengan pedoman umum, yakni dalam
proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara(interview guide)
yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan
urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman
wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus
dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah
aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman
demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut akan
dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan
pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Wawancara dengan
pedoman sangat umum ini dapat berbentuk wawancara terfokus, yakni wawancara
yang mengarahkan pembicaraan pada halhal/ aspek-aspek tertentu dari
kehidupan/pengalaman subjek. Tetapi wawancara juga dapat berbentuk wawancara
mendalam, dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi
kehidupan subjek, secara utuh dan mendalam;
3. Wawancara dengan pedoman terstandar yang
terbuka, yakni dalam bentuk wawancara ini, pedoman wawancara ditulis secara
rinci, lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat. Peneliti
diharapkan dapat melaksanakan wawancara sesuai sekuensi yang tercantum, serta menanyakannya
dengan cara yang sama pada narasumber yang berbeda. Keluwesan dalam mendalami
jawaban terbatas, tergantung pada sifat wawancara dan keterampilan peneliti.
Bentuk ini akan efektif dilakukan bila peneliti melibatkan banyak pewawancara,
sehingga peneliti perlu mengadministrasikan upaya-upaya tertentu untuk
meminimalkan variasi, sekaligus mengambil langkahlangkah menyeragamkan
pendekatan terhadap narasumber(Patton, 1990).
Etnometodologi
memiliki
beberapa asumsi yang dapat diterangkan dari perspektif kajian (McQuarie, 1995),
sebagai berikut:
(1) Terjadinya asas reciprocal
(bolak-balik) dalam rangka menyetarakan pengertian antara peneliti dan aktor
social yang terlibat, sehingga dapat dikatakan ‘bahwa kebenaran yang dianut
seseorang adalah kebenaran yang dianut oleh orang lain’
(2) Objektivitas dan ketidakraguan dari apa
yang tampak, misalnya dunia atau lingkungan atau kenyataan, adalah yang tampak
terjadi; dan keraguan terhadap kenyataan tersebut patut untuk diragukan
(3) Adanya proses yang sama. Dalam arti,
bilamana sesuatu hal terjadi di suatu tempat di suatu waktu, maka hal tersebut
akan dapat terjadi pada tempat dan waktu lain
(4) Adanya proses indexicality, yaitu
‘daftar istilah’. Masyarakat memiliki perbendaharaan pengetahuan lokal yang
telah diketahui sebelumnya dan dapat mengacu kepada indeks lain yang juga telah
ada . Peneliti harus memahami proses tersebut untuk dapat memiliki pengetahuan
lebih luas
(5) Adanya proses reflectifity, sebagai
‘gambaran tentang arti’, atau suatu interpretasi terhadap situasi yang terdapat
secara umum sehingga tidak perlu didefinisikan. Untuk mengatakan seseorang itu
‘bersalah’ atau ‘lugu’, maka harus diturunkan dari pengertian umum ke
pengertian khusus mengenai apa yang dimaksud. Namun, sesungguhnya peneliti tidak
pernah melihat kebenaran itu, kecuali hanya melihat tentang kebenaran tersebut
atau berkenaan dengan kebenaran tersebut.
Untuk
mendapatkan kebenaran, peneliti seharusnya tidak diperkenankan sampai ‘memaksa’
masyarakat. Adanya jeda yang harus diperhitungkan, misalnya ketika aktor sosial
merasa ‘lelah’ atau menjurus kepenampilan emosi. Oleh sebab itu, dalam menggali
informasi, peneliti tidak diperkenankan memaksakan kepada nara sumber untuk
mendapatkan pembuktian yang jelas. Ungkapan permintaan maaf peneliti adalah
suatu keputusan yang bijak. Peneliti harus mengerti semua itu apa adanya, dan
tidak memaksa untuk mendapatkan informasi yang jelas yang justru dapat
menimbulkan akibat tidak validnya data. Praktik etnometodologi dengan
masyarakat sebagai bidang kajian memiliki implikasi yang bersumber dari
keterbatasan sifat manusia itu sendiri, seperti:
a. Perihal eksistensi masyarakat. Jika tidak
ada pertanyaan mengenai realitas yang dibentuk bersama, maka sebenarnya
masyarakat dibentuk bersama melalui emosi
b. Keterbatasan pengetahuan tentang manusia
akan menimbulkan tindakan atau pemikiran yang mengurangi kesulitan yang
berkaitan dengan indexicality (daftar istilah) dan reflectivity
(gambaran tentang arti). Akibatnya, kenyataan selalu diasumsikan dalam keadaan
normal
c. Masalah kelemahan atau keterbatasan
pengetahuan manusia dapat diatasi dengan tindakan pemilihan yang rasional,
pertukaran, interaksi simbolik, dan sebagainya. Oleh karena itu, etnometodologi
merupakan kritik yang cukup tajam dalam ilmu pengetahuan. Di sini, tindakan
yang dilakukan merupakan pemikiran yang didasarkan pada pengetahuan ‘terbatas’
itu (Salim, 2006).
Etnometodologi Sebagai Metode Penelitian
Kualitatif.
Beberapa
prasyarat untuk menjadikan etnometodologi sebagai model penelitian kualitatif:
1. Etnometodologi memusatkan kajian pada
realitas yang memiliki penafsiran praktis. Ia merupakan pendekatan pada sifat
kemanusiaan yang meliputi pemaknaan pada perilaku nyata. Setiap masyarakat
dalam konsep ini memiliki situasi yang bersifat lokal, terorganisir, memiliki
steriotipe dan ideologi khusus, termasuk ras, kelas social dan gender.
Pendekatan ini akan memihak masyarakat bawah dengan ideologi yang sangat
populis
2. Merupakan strategi yang dapat dilakukan
melalui discourse analysis (analisis wacana). Paradigma yang dianut
adalah semiotic, sehingga metode yang paling tepat adalah dialog. Sumber data
dapat diungkap melalui observasi-observasi dengan pencatatan data yang teratur
menggunakan field note. Pengembangan pertanyaan dilakukan dengan betuk
verbal, social interaktif dan dialog
3. Etnometodologi memiliki keunggulan
dalam mendekati kehidupan empiric, dalam hal ini ada program penekanan yang
diberikan. Melakukan pengambilan data langsung dari lapangan melalui model
interaktif antara peneliti dan actor
4. Sosial (observasi partisipasi)
5. Menitikberatkan pada pemahaman diri dan
pengalaman hidup sehari-hari. Pengambilan data dengan indepth interview,
akan menggali semua masalah kehidupan sehari-hari dalam bentuk wawancara
percakapan terbuka. Setiap wacana percakapan dianalisis, dikembangkan sesuai
dengan konteks kehidupan sehari-hari di kalangan masyarakat lokal.
No
|
Unsur
|
Pelaksanaan Kegiatan
|
1
|
Paradigma
|
Semiotic: wacana percakapan
harus bermula dari kepentingan
masyarakat lokal. Masalah sosial
tumbuh dari bawah yang harus
mencerminkan kehidupan
sehari-hari.
|
2
|
Strategi
Kegiatan
|
Discourse Analysis: dilakukan
diskusi intensif dengan aktor
lokal. Peneliti harus bersatu
dengan aktor sosial, upaya ini
dilakukan untuk dapat
memahami jenis, bentuk
percakapan hingga dapat
diketahui strukturnya.
|
3
|
Pengumpulan Data
|
In-Depth
Interview/Conversation
|
4
|
Fokus
Penelitian
|
Kontekstual (tergantung pada
konteks masalah lokal)
|
5
|
Perkiraan
Kasus
|
Tergantung pada masalah
penelitian, jumlah kasus
disesuaikan dengan sifat, jenis
dan karakter masalah.
|
Keunggulan dan Kelemahan Etnometodologi
Dalam
penggunaan metode etnometodologi dijumpai beberapa keunggulan
dibandingkan metode lainnya, diantaranya :
1) Longitudinal: sebagai suatu metode observasi
yang sedang berlangsung, etnometodologi dapat merekam perubahanperubahan
apa yang terjadi, dan tidak harus menyandarkan diri pada ingatan partisipan
seperti rekaman dalam penelitian survey cross sectional.
2) Baik prilaku nonverbal maupun verbal,
keduanya dipelajari oleh etnometodologi.
3) Etnometodologi memberikan satu
pemahaman tentang bagaimana narasumber menyadari atau merasa benar-benar dalam
keadaan sadar dan mengerti terhadap daftar pertanyaan yang ada dan bagaimana
mereka menjawabnya. Penelitian ini memberikan bukti yang bermanfaat bagi
peneliti dalam menganalisis ‘tidak ada respons’ seperti sering dialami oleh
penelitian survey
4) Etnometodologi memberikan satu
pemahaman tentang kekonsistenan reliabilitas yang terkadang didapat lewat
koder-koder (penyandi) yang mengikuti aturan akal sehatnya.
Disamping
memiliki keunggulan, etnometodologi memiliki kelemahan diantaranya:
1) Produk: Etnometodologi bukan
merupakan pilihan yang baik untuk meneliti dan mempelajari produk-produk
sosial. Misalnya dalam melakukan penelitian tidak seharusnya meneliti tentang
sikap etnis tertentu dengan menggunakan etnometodologi, meskipun bias
menggunakannya untuk mempelajari proses terjadinya atau berasalnya sikap tadi.
2) Studi dalam skala luas: Sikap masyarakat
dalam skala luas lebih cocok diteliti dengan menggunakan metode survey
dibandingkan dengan etnometodologi. Disamping itu, memang sikap adalah
produk yang hanya baik jika diteliti dengan menggunakan metode penelitian
survey, atau metode lain yang bukan etnometodologi
BAB III
KESIMPULAN
Kemunculan
metode etnometodologi sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap pendekatan-pendekatan
sosiologi konvensional yang dianggapnya mengekang kebebasan
peneliti. Peneliti konvensional selalu dilengkapi asumsi, teori
proposisi dan kategori yang membuat peneliti tidak bebas di dalam
memahami kenyataan social menurut situasi dimana kenyataan social tersebut
berlangsung. Etnometodologi ditujukan untuk meneliti aturan
interaksi sosial sehari-hari yang berdasarkan akal sehat, yaitu sesuatu
yang biasanya diterima begitu saja, asumsi asumsi yang berada di
baliknya dan arti yang dimengerti bersama. Inti dari etnometodologi adalah
mengungkapkan dunia akal sehat dari kehidupan sehari-hari.
Tujuan
studi institusional etnometodologi adalah memahami cara
orang, dalam setting institusional, melaksanakan tugas kantor mereka
dan proses yang terjadi dalam institusi tersebut. Studi ini memusatkan
perhatian pada strukturnya, aturan formal, dan prosedur resmi untuk
menerangkan apa yang dilakukan orang di dalamnya. Dalam hal ini
orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya untuk kehidupan sehari-hari,
tetapi juga untuk menghasilkan produk institusi. Sementara itu, analisis
percakapan bertujuan untuk memahami secara rinci struktur
fundamental interaksi melalui percakapan. Percakapan sebagai unsur
dasar dalam etnometodologi adalah aktivitas interaksi yang
menunjukkan aktivitas yang stabil dan teratur yang merupakan
kegiatan yang dapat dianalisis. Sasaran analisis percakapan adalah
terbatas pada apa yang dikatakan dalam percakapan itu sendiri.
Percakapan dipandang sebagai tatanan internal sekuensial. Tradisi
etnometodologi , yaitu cabang sosiologi yang mengkaji cara para
anggota masyarakat tutur (speech community) mengorganisasi dan
memahami kegiatan mereka.
Dalam
etnometodologi, bahasa dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya,
melainkan berdasarkan cara para peserta interaksi saling memahami apa
yang mereka ujarkan. Dengan kata lain, kajian bahasa dalam etnometodologi
lebih ditekankan pada komunikasi, bukan tata bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Furchan, Arief, 1992. Pengantar Metode
Penelitian Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional.
Irawan, Prasetya, 2006. Penelitian
Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Depok:
Departemen Ilmu Administrasi, FISIP UI.
Moleong, Lexy J, 2001. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Salim, Agus, 2006. Teori
& Paradigma : Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Google Buzz
- Orkut
- Stumbleupon
- Delicious
- Bitacoras
0 komentar:
Posting Komentar