Interaksionisme simbolik
adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah
fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga
memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma
penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dari awalnya,
jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang
telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok. Karena itu bukan
mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun
selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.
Perspektif interaksi
simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia yang terpantul dalam
komunikasi. Interaksi simbolik lebih
menekankan pada makna interaksi budaya sebuah komunitas. Makna esensial akan
tercermin melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat
berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas
peneliti menemukan makna tersebut.
B.
AKAR TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
Menurut banyak pakar pemikiran George
Herbert Mead, sebagai tokoh sentral teori ini, berlandaskan pada beberapa
cabang filsafat antara lain pragmatisme, dan behaviorisme.
a. Pragmatisme
Dirumuskan
oleh John Dewey, Wiliam James, Charles Peirce, Josiah Royce, aliran filsafat
ini memiliki beberapa pandangan yaitu :
1.
Realitas yang
sejati tidak pernah ada di dunia nyata, melainkan secara aktif diciptakan
ketika kita bertindak di dan terhadap dunia.
2.
Percaya bahwa manusia mengingat dan melandaskan
pengetahuan mereka tentang dunia pada apa yang terbukti berguna bagi mereka.
3.
Manusia
mendefinisikan objek fisik dan objek sosial yang mereka temui berdasarkan
kegunaannya bagi mereka, termasuk tujuan mereka.
4.
Bila kita ingin
memahami orang yang melakukan tindakan (aktor), kita harus mendasarkan
pemahaman itu pada apa yang sebenarnya mereka lakukan di dunia.
b. Behaviorisme
Menurut Mead, manusia harus dipahami
berdasarkan pada apa yang mereka lakukan. Namun, manusia punya kualitas lain
yang membedakannya dengan hewan lain. Kaum behavioris berkilah bahwa satu-satunya cara sah secara ilmiah untuk memahami semua
hewan, termasuk manusia, adalah dengan mengamati perilaku mereka secara
langsung dan seksama. Mead menolak gagasan itu, menurutnya pengamatan atas
perilaku luar manusia semata menafikan kualitas penting manusia yang berbeda
dengan kualitas alam. Pandangan behavirisme terbagi menjadi dua yaitu :
1.
Behaviorisme Radikal John Watson.
a.
Behaviorisme
radikal mereduksi perilaku manusia kepada mekanisme yang sama dengan yang
ditemukan pada tingkat hewan lebih rendah (inframanusia).
b.
Manusia sebagai
makhluk yang pasif, tidak berfikir, yang perilakunya ditentukan oleh rangsangan
di luar dirinya.
c.
Menolak gagasan
bahwa manusia memiliki kesadaran, bahwa terjadi suatu proses mental tersembunyi
yang berlangsung pada diri individu di antara datangnya stimulus dan bangkitnya
perilaku.
2.
Behaviorisme Sosial George Herbert Mead.
a.
Behaviorisme
sosial merujuk pada deskripsi perilaku pada tingkat yang khas manusia.
b.
Konsep dasarnya
ialah tindakan sosial (social act), yang juga mempertimbangkan aspek
tersembunyi, yang membedakan perilaku manusia dengan perilaku hewan.
c.
Menganggap
perilaku manusia sebagai perilaku sosial., sebab substansi dan eksistensi
perilaku manusia hanya dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan basis
sosialnya.
Dapat disimpulkan, bahwa Mead telah memperluas teori behavioristik
ini dengan memasukkan apa yang terjadi antara stimulus dan respon itu. Ia
berhutang budi pada behaviorisme tetapi sekaligus juga memisahkan diri darinya,
karena bagi Mead, manusia jauh lebih dinamis dan kreatif.
c. Teori Evolusi Darwin
Teori Darwin menekankan pandangan bahwa semua perilaku organisme,
termasuk perilaku manusia, bukanlah perilaku acak, melainkan dilakukan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka masing-masing. Organisme juga dapat
mempengaruhi lingkungan, sehingga juga mengubah pengaruh lingkungan terhadap
organisme.[3 Aspek pandangan lain Darwin yang dianggap berpengaruh tersebut
adalah :
1. Sebagaimana alam yang harus dipelajari
dalam keadaan alami, manusia pun harus dipelajari dalam keadaan alami
(naturalistik).
2. Bila
manusia memang punya kualitas-kualitas khas yang membedakan mereka dengan
hewan, seperti punya kebebasan dan berfikir, mereka harus dipelajari dan
diidentifikasi dalam keadaan seperti itu.
3. Keunikan manusia itu bukan hanya otaknya yang
jauh lebih berkembang daripada otak hewan lainnya, pita suaranya dan otot
wajahnya yang memungkinkannya menciptakan berbagai macam suara, melainkan juga
implikasi dari kemajuan fisiknya tersebut yaitu kemampuan mereka untuk
berbahasa dan berfikir. [1]
C. INTI TEORI INTERAKSI SIMBOLIK
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan
ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksionisme simbolik juga telah
mengilhami perspektif-perspektif lain, seperti “teori penjulukan” (labeling
theory) dalam studi 7tentang
penyimpangan perilaku (deviance), perspektif dramaturgis dari Erving
Goffman, dan etnometodologi dari Harold Garfinkel. Perspektif interaksi
simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek.
Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses
yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka.
Definisi yang mereka berikan kepada orang
lain, situasi, objek, dan bahkan diri mereka sendirilah menentukan perilaku
mereka. Perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai kebutuhan, dorongan
impuls, tuntutan budaya, atau tuntutan peran. Manusia bertindak hanya
berdasarkan definisi atau penafsiran mereka atas objek-objek di sekeliling
mereka. Tidak mengherankan bila frase-frase “definisi situasi”, “realitas
terletak pada mata yang melihat”, dan “bila manusia mendefinisikan situasi
sebagai riil, situasi tersebut riil dalam konsekuensinya” sering dihubungkan
dengan interaksionisme simbolik.
Dalam pandangan interaksi simbolik,
sebagaimana ditegaskan Blumer, proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang
menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Menurut teoritisi interaksi
simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan
menggunakan simbol-simbol”. Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan
simbol-simbol yang mempresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk
berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh yang ditimbulkan penafsiran
atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam
interaksi sosial. Penganut interaksi simbolik berpandangan, perilaku manusia
pada dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia disekeliling
mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan,
sebagaimana dianut oleh teori behavioristik atau teori struktural. Alih-alih,
perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu
mendefinisikan situasi yang ada.
D. PRINSIP METODOLOGI INTERAKSI SIMBOLIK
Interaksionis simbolik berasumsi bahwa penelitian
sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah alih-alih
lingkungan yang artifisial seperti eksperimen. Varian-varianya mencakupi teori
dan prosedur yang dikenal sebagai etnografi, fenomenologi, etnometodologi,
interaksionisme simbolik, psikologi lingkungan, analisis semiotik dan studi
kasus.
Lofland mengemukakan bahwa penelitian
kualikatif ditaandai dengan jenis-jenis pertanyaaan yang diajukan. Ada tujuh
prinsip metodologi berdasarkan teori interaksi simbolik :
1. Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum
penelitian tuntas
2. penelitian harus mengambil perspektif atau
peran orang lain yanhg bertindak dan memandang dunia dari sudut pandang subjek
3. Peneliti harus mengaitkan simbol dan defenisi
subjek dengan hubungan sosial dan kelompok-kelompok yangg memberikan konsepsi
demikian
4. Setting prilaku dlaam interaksi tersebut dan
pengamatan ilmiah harus dicatat
5. Metodologi penelitian harus mampu mencerminkan
proses atau perubahan, jugaa bentuk perilaku yangg statis.
6. Pelaksanaan penelitian yangg baik dipandang
sebagai suatu tindakan interaksi simbolik.
7. Penggunaan konsep-konsep yang layak adalah
pertama-tama mengarahkan dan kemudian operasional; teori yang layak menjadi
formal, bukan teori agung atau teori menengaah dan proposisi yang dibangun
menjadi interaksional dan universal.[2]
Interaksionisme simbolik merupakan suatu perspektif teoritis, namun
juga sekaligus orientasi metodologis. Akan tetapi metodologi yang disarankan oleh kaum interaksionis sebenarnya tidak ekslusif,
namun mirip atau tumpang tindih dengan metode penelitian yangg dilakukan para
peneliti berpandangan fenomenologis lainnya.
Meskipun perhatian interaksionisme simbolik pada aspek-aspek
fenomenoligis prilaku manusia mempunyai implikasi metodolosis. Penelitian
kualitatif bertujuan mempertahankan kualitas-kualitasnya, alih-alih perilaku
manusia dan menganalisi kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi
entitas-entitas kuantitatif. Seperti yangg ditegaskan silverman, permasalahan
yangg dihadapi peneliti kuantitatif adalah bahwa mereka mengabaikan konstruksi
sosial dan kultural dari variabel-variabel yangg ingin mereka korelasi.
E. ASUMSI-ASUMSI INTERAKSI SIMBOLIK
Rumusan yang paling ekonomis dari
asumsi-asumsi interaksionisme simbolik datang dari karya Herbert Blumer yaitu :
a. Manusia bertindak terhadap sesuatu atas
dasar makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka.
b. Makna-makna itu merupakan hasil dari
interaksi sosial dalam masyarakat manusia.
c. Makna-makna dimodifikasikan dan ditangani
melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam
keterlibatannya dengan tanda-tanda yang dihadapinya
F. PREMIS-PREMIS INTERAKSIONISME SIMBOLIK
1. Individu merespons suatu situasi simbolik.
Individu dipandang aktif untuk menentukan lingkungan
mereka sendiri.
1. Makna adalah produk interaksi sosial.
Oleh karena itu, makna tidak melekat pada objek,
melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.
1. Makna yang diiterpretasikan individu dapat berubah
dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam
interaksi sosial.
Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu
dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya. [3]
G. TEORI TENTANG “DIRI” DARI GEORGE HERBERT
MEAD
Inti dari teori interaksi
simbolik adalah teori tentang “diri” (self) dari George Herbert Mead,
yang juga dilacak hingga definisi diri dari Charles Horton Cooley. Mead,
seperti juga Cooley, menganggap bahwa konsepsi-diri adalah suatu proses yang
berasal dari interaksi sosial individu dengan orang lain. Cooley berpendapat
dalam teorinya the looking-glass self bahwa konsep diri individu secara
signifikan ditentukan oleh apa yang ia pikirkan tentang pikiran orang lain
mengenai dirinya, jadi menekankan pentingnya respon orang lain yang ditafsirkan
secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri. Ringkasnya,
apa yang diinternalisasikan sebagai milik individu berasal dari informasi yang ia
terima dari orang lain. Sementara itu, pandangan Mead tentang diri terletak
pada konep “pengambilan peran orang lain” (taking the role of the other). Konsep
Mead tentang diri merupakan penjabaran “diri sosial” yang dikemukakan
Wiliam James dan pengembangan dari teori Cooley tentang diri. [4]
Bagi Mead dan pengikutnya, individu
bersifat aktif, inovatif yang tidak saja tercipta secara sosial, namun tidak
dapat diramalkan. Ia memandang tindakan manusia sebagai meliputi bukan saja
tindakan terbuka, namun juga tindakan tertutup, jadi mengkonseptualisasikan
perilaku dalam pengertian yang lebih luas.
Pentingnya Simbol dan Komunikasi
Bagi Cooley dan Mead, diri muncul
karena komunikasi. Tanpa bahasa, diri tidak akan berkembang. Manusia
unik karena mereka memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan
kesadaran. Mead menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme
isyarat vokal (bahasa), meskipun teorinya bersifat umum. Isyarat vokallah yang
potensial menjadi seperangkat simbol membentuk bahasa. Simbol adalah suatu
rangakaian yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari bagi manusia, dan
respon manusia terhadap simbol adalah dalam pengertian makna dan nilainya,
alih-alih dalam pengertian stimulasi fisik dari alat-alat indranya. Suatu simbol
disebut signifikan atau memiliki makna bila simbol itu membangkitkan pada
individu yang menyampaikannya respons yang sama seperti yang juga muncul pada
individu yang dituju. Menurut Mead, hanya apabila kita memiliki simbol-simbol
yang bermakna, kita berkomunikasi dalam arti yang sesungguhnya. Ringkasnya,
dalam pandangan Mead isyarat yang dikuasai manusia berfungsi bagi manusia itu
untuk membuat penyesuaian yang mungkin diantara individu-individu yang terlihat
dalam setiap tindakan sosial dengan merujuk pada objek atau objek-objek yang
berkaitan dengan tindakan tersebut.
Pikiran
Bagi Mead, tindakan verbal merupakan
mekanisme utama interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh
manusia dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya memunculkan 10 pikiran (mind)
dan “diri” (self). Hanya melalui penggunaan simbol yang signifikan,
khususnya bahasa, pikiran itu muncul, sementara hewan lebih rendah tidak
berfikir, karena mereka tidak berbahasa seperti bahasa manusia. Mead
mendefinisikan berfikir (thinking) sebgai “suatu percakapan
terinternalisasikan atau implisit antara individu dengan dirinya sendiri
menggunakan isyarat-isyarat demikian”. Menurut teori interaksi simbolik,
pikiran mensyaratkan adanya masyarakat, dengan kata lain, masyarakat harus
lebih dulu ada, sebelum adanya pikiran. Dengan demikian pikiran adalah bagian
dari proses sosial, bukan malah sebaliknya, proses sosial adalah produk
pikiran.
Perkembangan “diri”
Diri merujuk kepada kapasitas dan pengalaman yang memungkinkan
manusia menjadi objek bagi diri mereka. Kemunculannya bergantung pada kemampuan
individu untuk mengambil peran orang lain dalam lingkungan sosialnya. Menurut
Mead, perkembangan diri terdiri dari dua tahap umum yang ia sebut
sebagai tahap permainan (play stage) ialah perkembangan pengambilan
peran bersifat elemenr yang memungkinkan anak-anak melihat diri mereka sendiri
dari perspektif orang lain yang dianggap penting (significant others).
Dan tahap pertandingan (game stage) berasal dari proses pengambilan
peran dan sikap orang lain secara umum (generalized others), yaitu
masyarakat umumnya. Menurut Mead, sebagai suatu proses sosial, diri terdiri
dari dua fase yaitu “Aku” (I) dan “Daku” (Me). Aku adalah diri
yang subyektif, diri yang refleksif yang mendefinisikan situasi dan
merupakan kecenderungan impulsif individu untuk bertindak dalam suatu cara yang
tidak terorganisasikan, tidak terarah, dan sponta. Sementara Daku adalah
pengambilan peran dan sikap orang lain, termasuk suatu kelompok tertentu.
Karena itu diri sebagai objeklah yang meliputi diri sosial, yang
dipandang dan direspon oleh orang lain. Prinsip bahwa diri merefleksikan
masyarakat membutuhkan suatu pandangan atas diri yang sesuai dengan
realitas mengenai masyarakat kontemporer yang rumit. Artinya, bila hubungan
sosial itu rumit, pastilah ada suatu kerumitan yang pararel dalam diri.
H. BEBERAPA KRITIK ATAS TEORI INTERAKSI MENURUT
PARA AHLI
Beberapa kritik utama yang yang ditujukan terhadap
perspektif teori ini yaitu:
1) Aliran utama interaksionisme simbolik
dituduh terlalu mudah membuang teknik ilmiah konvensional. Eugene Weinstein
daan Judith Tanur dengan tepat menyatakan hal ini: “Hanya karena kadar
kesadaran itu kualitatif, tak berarti pengungkapan keluarnya tak dapat dikodekan,
diklasifikasi, atau bahkan dihitung” (1976:105). Ilmu dan subjektivisme
tidaklah saling terpisah satu sama lain.
2) M. Kuhn (1964), W. Kolb (1944), B. Meitzer,
J. Petras dan L. Reynolds (1975), dan banyak lagi lainnya yang mengkritik
ketidakjelasan konsep-konsep esensial Meadian seperti : pikiran, diri, I, dan
Me. Lebih umum lagi Kuhn (1964) berbicara tentang ambiguitas dan
kontradiksi dalam teori Mead. Di luar teori Meadin, mereka mengkritik berbagai
konsep dasar teoritisi interaksionisme simbolik yang dinilai keliru, tidak
tepat, dan karena itu tak mampu menyediakan basis yang kuat untuk membangun
teori dan riset. Karena konsep-konsep itu tak tepat, maka sulit
mengoperasionalisasikannya, akibatnya adalah tak dapat dihasilkan
proposi-proposisi yang dapat diuji (Stryker, 1980)
3) Interaksionisme simbolik dikritik karena
karena meremehkan atau mengabaikan peran struktur berkala luas. Kritik ini
diekspresikan dengan berbagai cara. Misalnya, Weinstein dan tanur mengatakan
bahwa interaksionisme simbolik mengabaikan keterkaitan (connectedness) dari
hasil-hasil (1976:106). Sheldon Stryker menyatakan bahwa pemusatan perhatian
interaksionisme simbolik terhadap interaksi ditingkat mikro berfungsi
“meminimalkan atau menyangkal fakta struktur sosial dan mempengaruhi gambaran
kontrol masyarakat atas perilaku” (1980:146).
4) Interaksionisme simbolik tak cukup mikroskopik, mengabaikan peran
penting faktor seperti ketidaksadaran dan emosi (Meltzer, Petras, Reynolds,
1975, Stryker, 1980). Begitu pula, interaksionisme simbolik dikritik karena
mengabaikan faktor psikologis seperti kebutuhan, motif, tujuan, dan aspirasi.
Dalam upaya mereka untuk menyangkal adanya kekuatan abadi yang memaksa aktor
bertindak, teoritisi interaksionisme simbolik malahan memusatkan perhatian pada arti, simbol,
tindakan, dan interaksi. Mereka mengabaikan faktor psikologis yang mungkin
membatasi atau menekan aktor. Dalam kedua kasus ini, teoritisi interaksionisme
simbolik dituduh membuat “pemujaan mutlak” terhadap kehidupan sehari-hari
(Meltzer, Petras, dan Reynolds, 1975:85). Pemusatan perhatian terhadap
kehidupan sehari-hari ini selanjutnya menandai penekanan berlebihan terhadap
situasi langsung dan “perhatian yang obsesif terhadap situasi sementara,
episodik, dan singkat” (Meltzer, Petras, dan Reynolds, 1975:85)
I.
METODOLOGI PENELITIAN
INTERAKSI SIMBOLIK
Interaksi simbolik termasuk ke
dalam salah satu dari sejumlah tradisi penelitian kualitatif yang berasumsi
bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu lingkungan yang alamiah
dan bukan lingkungan artifisial seperti eksperimen. Secara lebih jelas Denzin
mengemukakan tujuh prinsip metodologis berdasarkan teori interaksi simbolik,
yaitu :
·
Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum
penelitian tuntas.
·
Peneliti harus
mengambil perspektif atau peran orang lain yng bertindak (the acting other) dan
memandang dunia dari sudut pandang subjek, namun dalam berbuat demikian
peneliti harus membedakan antara konsepsi realitas kehidupan sehari-hari dengan
konsepsi ilmiah mengenai realitas tersebut.
·
Peneliti harus mengaitkan simbol dan definisi subjek
hubungan sosial dan kelompok-kelompok yang memberikan konsepsi demikian.
·
Setting perilaku dalam interaksi tersebut dan pengamatan
ilmiah harus dicatat.
·
Metode penelitian harus mampu mencerminkan proses atau
perubaha, juga bentuk perilaku yang yang statis.
·
Pelaksanan penelitian paling baik dipandang sebagai
suatu tindakan interaksi simbolik.
·
Penggunaaan
konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan (sensitizing) dan
kemudian operasional, teori yang layakmenjadi teori formal, bukan teori agung (grand
theory) atau teori menegah (middle-range theory), dan proposisi yang
dibangun menjadi interaksional dan universal.
Prinsip bahwa teori atau proposisi yang
dihasilkan penelitian berdasarkan interaksionisme simbolik menjadi universal,
sebagaimana diikemukakan Denzin diatas sejalan dengan pandangan Glaser dan
Strauss yang upayanya untuk membangun “teori berdasarkan data” (grounded
theory) dapat dianggap sebagai salah satu upaya serius untuk mengembangkan
metodologi interaksionis simbolik. Hanya saja, meskipun bersifat induktif,
pandangan Glaser dan Strauss mugkin terlalu idealis bagi sebagian penganut
interaksionisme simbolik.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut Ritzer,
kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori interaksionisme simbolik
adalah sebagai berikut:
·
Kehidupan bermasyarakat
itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antar individu dan antar kelompok
dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar.
·
Tindakan seseorang
dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang
bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari
luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi terhadap
stimulus.
Jadi jelas, bahwa hal
ini merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan
saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma,
nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan
terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia
mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak
dicapainya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008).
West Lyyn. Richard H. turner,. Teori interaksi simbolik, Pengantar teori komunikasi, Salemba
Humanika : Jakarta 2008
Internet
http://sinaukomunikasi.wordpress.com
http://vandenbosh.blogspot.com
[1]Dr. Deddy Mulyana,
M.A, Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008). H.64
[2]
http://vandenbosh.blogspot.com/2012/09/penelitian-kualitatof-bag-iii.html
[3]Dr. Deddy Mulyana,
M.A, Metodologi Penelitian Kualikatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung:2008). h.73
[4]Richard west lyyn H. turner,2008.Teori interaksi
simbolik.Pengantar teori komunikasi (Jakarta salemba humanika) Bab 5 hal 95
- Google Buzz
- Orkut
- Stumbleupon
- Delicious
- Bitacoras
0 komentar:
Posting Komentar